Gudeg.net – “Foto-foto tersebut saya ambil saat pembongkaran bangunan di dalam Pojok Beteng Kulon sebelah utara saat revitalisasi bangunan benteng Keraton beberapa waktu lalu.” ujar seniman foto Bimo Pradityo.
Bersama sebelas fotografer Bimo mempresentasikan karya fotonya di Omah Petroek, Hargobinangun-Sleman dalam tajuk “Lenggang Jogjakarta”. Gelar karya yang berlangsung hingga 20 Mei 2025 dibuka oleh pemilik Ohana Gallery Telly Liando, Minggu (20/4) sore.
Dalam obrolan ringan tersebut Bimo menjelaskan bagaimana foto yang sederhana sekalipun bisa memberikan gambaran perubahan sebuah kawasan-wilayah. Sebagai seorang arsitek Bimo memiliki ketertarikan membuat foto-foto still life, human interest, lanskap, maupun foto jalanan (street photography) sebagai rekaman sekaligus catatan.
Yogyakarta (bukan lagi) Kota Sepeda’ (kiri) – Ferganata Indra Riatmoko – 2009.. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Budayawan GP Sindhunata dalam catatan pengantar pameran menuliskan saat dihantam dengan banjir informasi yang membuat kita lupa akan semuanya, hal-hal kecil yang dihadirkan dalam sebuah karya foto bisa membantu untuk merasakan kembali Yogyakarta (dan juga tempat-tempat lain), meraba-rabanya, dan mencintainya. Hal-hal kecil itu (bisa) membawa kita kembali pada momen-momen dimana kita boleh mengalami lagi kemanusiaan di Yogyakarta (dan juga tempat-tempat lain).
Foto sebagai catatan perubahan kota
“Foto bisa menjadi catatan perkembangan sebuah wilayah perkotaan. Dulu saat relokasi-penataan di kawasan Malioboro seharian penuh saya memotret eksisting bangunan saat itu. Saat ini saja sudah banyak perubahan. Dari foto-foto tersebut saya bisa menyaksikan bagaimana perubahan rupa kawasan kota tersebut.” ujar Bimo.
Dalam gelar karya “Lenggang Jogjakarta” lima karya foto series berjudul ‘Memori Jeron Beteng’ dipresentasikan Bimo merekam realitas pembongkaran bangunan pemukiman dan fasilitas umum warga yang berada di dalam lingkungan benteng sebagai bagian dari program Pembangunan Margihinggil Keraton Yogyakarta.
Kesadaran mengarsipkan hasil potretan akan menjadi hal penting di masa datang. Bertebarannya foto-foto kuna bertahun 1900-an atau bahkan sebelumnya di berbagai platform media sosial hari ini tidak lepas dari kerja keras bagaimana para pemilik-pecinta foto, dokumenter, maupun pihak-pihak yang memiliki konsen pada pengarsip-dokumentasian
Pengunjung mengamati foto karya Sonia Prabowo berjudul ‘Titik Nol’. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
‘Memori Jeron Beteng’ dan juga dokumen foto Bimo lainnya, maupun karya foto fotografer di masa datang bisa jadi tidak sekedar dokumen-arsip yang membeku namun justru bisa lebih memperkaya literasi.
“Perubahan wajah kota tidak terhindarkan, karena banyak hal yang memengaruhinya. Peraturan pemerintah setempat menjadi salah satu faktor utama perubahan fisik wajah kota. Perubahan tersebut bisa kecil saja, atau bisa secara signifikan mengubah wajah kota secara masif.” ujar Bimo.
Perubahan rupa kota juga dipresentasikan oleh fotografer Agus Leonardus pada enam karya foto bertahun 2025. Keenam foto berjudul ‘Dulu dan Sekarang. Enak Jaman Kapan?’ tersebut disandingkan dengan repro foto dokumenter lama pada tempat yang sama untuk memotret perkembangan kawasan-wilayah Alun-alun Utara Yogyakarta, Gedung BI di kawasan Titik Nol Km Yogyakarta, jalanan Malioboro, Ngejaman, serta Tugu Yogyakarta.
Pengunjung mengamati foto karya Edy Hasby (atas), dan Danu Kusworo (bawah). (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Merekam perubahan (rupa kota) menjadi kebutuhan, karena pada masa yang akan datang, sejarah sebuah kota akan menjadi cerita yang tidak terucap secara lisan dan tertulis dalam berita-berita, atau sekedar ‘katanya’, tetapi terekam nyata melalui karya-karya visual maupun audiovisual yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan.” pungkas Bimo.
Foto dan ingatan kolektif masyarakat
Foto artistik secara visual tidak melulu menghadirkan kisah-cerita yang indah. Bisa jadi justru keindahan tersebut merupakan rekaman-memori dari sebuah tragedi dan bencana. Di balik itu tetap saja menyimpan memori yang sifatnya bisa personal maupun komunal.
“Setelah varians delta penurunan jumlah pasien terinfeksi virus corona menurun diikuti dengan kebijakan kebijakan pembatasan yang mulai sedikit longgar. Saat itu saya mencoba mencuri-curi memotret kawasan Titik Nol Km Yogyakarta. Sebuah kawasan yang hampir sepanjang waktu selalu padat dengan lalu lalang orang (terutama pada malam hari). Saat itu sudah mulai terlihat geliat kawasan Titik Nol meski belum seramai saat sebelum pandemi. Masker pelindung mulut masih setia dikenakan pelintas.” ujar fotografer Sonia Prabowo, Minggu (20/4) sore.
Sembilan foto series berjudul ‘Titik Nol’ karya Sonia menjadi salah satu catatan pandemi Covid di kawasan yang ramai di Yogyakarta, memotret suasana jalanan di Titik Nol Km Yogyakarta. Jika Sonia memotret kawasan tersebut pada malam hari, fofografer Budi N.D. Dharmawan justru memotretnya pada siang hari pada tiga karya foto panoramiknya berjudul ‘Saat Yogyakarta Berhenti Berlenggang’, sebuah pemandangan yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya: bangku-bangku taman kosong, jalanan yang lengang, dan rupa kota tujuan pariwisata yang hampir-hampir tanpa aktivitas manusia.
Tanpa adanya tahun pemotretan orang akan bertanya-tanya pernahkah Kota Yogyakarta lengang? Namun dengan menyebutkan tahun pemotretan akan membawa ingatan kolektif tentang suasana salah satu pusat Kota Yogyakarta saat dunia sedang dilanda Pandemi Covid.
Dulu dan Sekarang. Enak Jaman Kapan?’ (kanan) – Agus Leonardus – 2025. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Foto saat bencana dan dampaknya selalu membawa cerita-kisah tragedi manusia dan kemanusiaan. Saat wilayah Yogyakarta dilanda gempa pada tahun 2006 foto-foto tentang kerusakan bangunan akibat gempa bumi berkekuatan 5,9 pada skala Richter (BMKG). Sedangkan United States Geological Survey (USGS) melaporkan kekuatan gempa mencapai 6,2 pada skala Richter. Gempa susulan yang lebih kecil terasa pada pukul 06.10 WIB, 08.15 WIB dan 11.22 WIB.
Banyak kisah memilukan yang terjadi di wilayah Bantul ketika itu. Gempa yang terjadi di pagi saat orang sedang memulai hari. Besarnya magnitudo gempa bahkan merusak struktur bangunan bertulang. Bisa dibayangkan rumah warga yang tidak berstruktur tahan gempa tentu mengalami nasib yang sama. Ribuan rumah warga ambruk-roboh dan menimpa penghuninya yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah yang banyak.
Tercatat bangunan besar yang rusak permanen saat gempa Jogja 2006 : gedung kampus bertingkat STIE Kerjasama, gedung BPKP di jalan Parang Tritis, rumah-rumah kuno di Kotagede, bangunan modern di sepanjang Jalan Sudirman-Jalan Adisucipto (Jalan Solo). Candi Prambanan mengalami keruntuhan di banyak tempat dan memerlukan restorasi dalam waktu yang cukup lama, bahkan Bangsal Trajumas Keraton Yogyakarta ambruk. Rumah warga yang roboh tidak terhitung jumlahnya. Besarnya dampak kerusakan bangunan-rumah warga yang memengaruhi perekonomiannya,menyebabkan recovery gempa Jogja 2006 berlangsung cukup lama lebih dari 2 tahunan.
Satu foto dari pewarta foto Kompas Danu Kusworo tentang kerusakan parah struktur bangunan pintu masuk makam Raja Mataram di Imogiri menjadi salah satu dokumen saksi sejarah tentang bagaimana dahsyatnya Gempa Jogja 2006 yang dihadirkan pada gelar karya “Lenggang Jogjakarta”.
Jalanan masih menjadi isu-wilayah aktual bagi fotografer. Arief Soekardono menghadirkan lima karya foto berjudul ‘Sang Seniman Mengukir Jejak di Jalanan Jogja’ memotret seniman Jemek Supardi yang rentang waktu 1997-2011 sering melakukan performance art memanfaatkan jalanan sebagai panggungnya. Realitas jalanan lainnya dihadirkan pewarta foto Kompas Ferganata Indra Riatmoko dalam karya berjudul ‘Yogyakarta (bukan lagi) Kota Sepeda’ yang dipotret pada tahun 2009.
Dua foto karya Ajie Wartono memotret jalanan Yogyakarta yang lekat dengan moda transportasi becak dalam karya berjudul “’Kotaku Rumahku – personalisasiruang publik– ‘
“Dengan persaingan yang kompetitif, dan penghasilan yang kadang tidak memadai, beberapa dari mereka (terpaksa) memilih untuk tidak mempunyai rumah, baik rumah pribadi maupun rumah sewa. Alhasil, mereka hidup sehari-hari di becak mereka dan mengoptimalkan ruang publik (tempat umum) sebagai ruang keseharian kehidupan mereka. Semua ruang kota adalah rumah bagi mereka.” jelas Ajie Wartono.
Ingatan-ingatan kolektif tentang tempat, ruang, jalanan, maupun ragam lainnya bisa berangkat dari pengalaman personal maupun komunal. Dari foto Ajie Wartono sendiri justru ingatan saya tertuju pada visual objek becak : sejak kapan becak-becak di Yogyakarta tanpa slebor (fender)?
Kirim Komentar