Ekspresi Kerinduan I Made Dyanna Akan Tanah Kelahirannya
EKSOTIKA PULAU BALI ATAS ALAM, BUDAYA DAN MASYARAKAT sangat legendaris di seantero dunia, termasuk di dalamnya. Interaksi individu dengan masyarakat sekitarnya mengharuskan mereka untuk selalu bergerak aktif dalam kultur kolektivitas yang tinggi. Namun, di balik gemuruh dinamika budaya Bali tersebut, terdapat sebuah kalimat "Pageh meyasa", kalimat sederhana yang bermakna dalam dan selalu menjadi cermin dalam konteks kesetiaan profesi. Istilah ini dapat diartikan sebagai suatu sikap keteguhan dalam menjalankan bhakti dengan dilandasi hati yang bersih, penuh kejujuran serta rasa tulus tanpa pamrih. Dengan berpegang pada prinsip ini akan melahirkan sikap idealisme yang tinggi dalam mengabdikan diri pada profesi serta keyakinan.
Itulah sedikit gambaran yang dituangkan melalui cat dan kanvas oleh I Made Dyanna dalam pameran karyanya di Balai Roepa Tembi Jl Parangtritis Km.8,4 Bantul Yogyakarta, Jum`at (20/2) kemarin. Koridor inilah, pameran tunggal I Made Dyanna menjadi hasil Kepagehan Yasanya. Melalui proses perenungan, serta kerja kerasnya telah membentuk proses kreatifitasnya sebagai pelukis dalam mengartikulasikan gagasan-gagasannya ke dalam bahasa rupa.
Keberaniannya menampilkan karya kepada publik Yogyakarta patut dijadikan catatan penting. Made siap untuk mempertanyakan diri secara lebih objektif. Meskipun ia adalah seorang pewaris dari abstraksi formal dan abstraksi ekspresionis yang melanda perupa Bali sejak beberapa tahun lalu, namun dari sudut karya-karya Made tersebut, menawarkan sebuah keberanian dalam inovasi estetis dan tematis.
Pameran yang banyak dihadiri oleh seniman-seniman Bali yang tergabung dalam Sanggar Dewata Indonesia serta mahasiswa-mahasiswa FSR ISI ini, dibuka secara resmi oleh Prof. DR. I Made Bandem, Rektor ISI Yogyakarta. Pameran I Made Dyanna kali ini merupakan pameran tunggal perdananya selama di kota Yogyakarta.
I Made Dyanna merupakan alumnus fakultas seni rupa ISI Yogyakarta tahun 2001. Ia mulai total berkarya sejak tahun 1990-an. Bersama dengan perupa lainnya dalam SDI, Made juga memajang karya-karya di tanah kelahirannya Ubud-Bali. Dalam hal kerja Made lebih menekankan improvisasi. Ia memilih untuk tetap tinggal di kota Yogyakarta yang setting kultur masyarakatnya sangat berbeda dengan tempat asalnya. Tentu saja ini menjadi tantangan bagi Made, serta diperlukan kesiapannya untuk menghadapi berbagai bentuk konflik yang akan berlangsung terus menerus menghiasi proses kreatifnya dalam menemukan "dirinya".
Bagi Made, Yogyakarta merupakan sebuah counterpoint dalam proses kreatifnya. Ia membangun konstruksi gagasan-gagasan yang secara psikologis bersumber dari kualitas persepsinya akan penghayatan dunia luar terhadap dirinya. Karya-karyanya penuh gejolak improvisasi dan spontanitas membantunya dalam menciptakan nilai visual. Dari sisi psikologis, karya-karya I Made Dyanna sangat kentara dengan spirit Pulau Dewata. Walaupun bersifat eksoterik, namun karyanya hadir dalam pola bentuk penggambaran sosok yang terdapat dalam tradisi Hindu Bali seperti Leak dan Barong dengan menampilkan warna-warna berat untuk menghadirkan suasana angker serta magis.
Pameran tunggalnya yang akan digelar hingga 19 Maret 2004 kali ini tampak pula gambaran sebuah kerinduan akan tanah kelahiran dan kehausan akan rasa spiritual, yang dituangkannya dalam bahasa ekspresi seni lukis sebagai medium penyaluran rasa dan sebagai bukti atas pageh yasa-nya.
Kirim Komentar