Ada guyonan Yogyakarta tak pernah sepi karena saking nyamannya mahasiswa perantauan tak mau kembali ke tempat asalnya. Bahkan, beranak-pinak disini.
Minggu (10/11), kota yang dipimpin Haryadi Suyuti ini dinobatkan sebagai kota ternyaman atau The Most Liveable City 2013 menurut Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) di Jakarta. Ada sembilan indikator. Diantaranya tata ruang, transportasi, fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur, ekonomi, keamanan dan kondisi sosial.
Lewat sosial media, gudeg.net meminta tanggapan beberapa mahasiswa yang pernah tinggal di Yogyakarta antara tahun 2000 - 2013 tentang prestasi tersebut. Salah satunya Juanta Tarigan. Menurutnya, Yogyakarta memang nyaman terutama bagi mereka yang mengendarai sepeda motor. "Tapi sangat tidak nyaman untuk transportasi umum," katanya. " Di Yogya transportasi umumnya kurang."
Sedangkan untuk masalah penataan kawasan kumuh, baginya, sudah cukup baik. "Well organized. Seperti Code (Sungai Code - red). Tapi bukan karena pemerintah, tapi dari masyarakatnya sendiri."
Ia menambahkan persoalan yang terjadi ialah tidak ada pembagian ruang. "Hotel dimana-mana tersebar. Kawasan industri tidak ada," katanya.
Idealnya, ada zonasi pemukiman dan industri. "Perubahan desa jadi kelurahan seperti di Mlati dan Catur Tunggal," kata mahasiswa yang sekarang tengah menempuh studi di Taipei, Taiwan ini. Selain itu, ia mengharapkan adanya jalur yang menghubungkan transportasi antar objek wisata. "Penataan PKL juga."
Tyan Yestenia, mahasiswi asal Sragen, juga sepakat tentang kenyamanan di Yogyakarta. "Penduduk aslinya juga ramah sama pendatang," katanya. "Budayanya kental tapi tidak anti perubahan." Baginya, wajar jika kota berpenduduk sekitar 6 juta jiwa ini dikatakan nyaman. "Kotanya asyik. Budayanya dapet. Modern juga dapet."
Baginya, Yogyakarta menjadi semakin ideal lewat penambahan objek wisata dan menjadi kota damai. "Dan juga banyak tempat nongkrongnya."
Lisa Puji, mahasiswa pasca sarjana di salah satu universitas negeri di Jakarta mencontohkan perilaku sederhana tapi sangat berkesan yaitu budaya membuang sampah pada tempatnya. Ia menceritakan teman-temannya yang datang dari Kota Gudeg itu ke Ibu Kota. "Mereka misuh-misuh dan selalu membandingkan dengan Yogya."
"Disini (Jakarta) orang bisa dengan sembarangan buang sampah. Buang ludah. Kesadarannya kurang," katanya.
Dalam hal infrastruktur, menurutnya, ada untungnya juga Belanda pernah bercokol di Yogyakarta. "Jadi tata ruangnya sudah diatur rapi," katanya. "Sampai peresapan airnya juga. Kayak di Kobar (wilayah Kotabaru)."
"Ada juga Romo Mangun (Y.B. Mangunwijaya) yang membangun Kali Code," katanya. Ia menambahkan banyak perubahan di Yogyakarta karena inisiatif masyarakatnya.
Ia lalu membandingkan perbaikan besar-besaran yang dilakukan gubernur Joko Widodo. "Semua trotoar dibenahi. Penjual dilarang jualan di trotoar."
Lain halnya dengan di Yogyakarta. "Pemerintahnya kok kurang sregep (rajin) ya," katanya. "Terlalu nyaman dadine ora butuh cepet pembenahan (jadinya tidak perlu pembenahan cepat )."
Kirim Komentar