Sosial Ekonomi

Kisah Mereka Yang “Dipaksa” Jauh Dari Keluarga

Oleh : Albertus Indratno / Rabu, 14 September 2016 13:23
Kisah Mereka Yang “Dipaksa” Jauh Dari Keluarga
Ilustrasi. Pemerintah Inggris menerima sekitar 3000 pengungsi anak-anak tanpa orang tua. Konflik berkepanjangan menjadi penyebab tingginya angka pengungsian di negara-negara Eropa. Sumber:immigrationimpact.com

 

Yogyakarta, Indonesia – www.gudeg.net “Jauh lebih baik melihat orang tua kita sudah meninggal. Daripada kita tahu mereka masih hidup tapi kita tidak bisa menjumpainya. Lebih pedih lagi, kita tidak pernah tahu mereka masih hidup atau sudah tak ada lagi.”

Menurut informasi dari theguardian.com, dikabarkan bahwa pemerintah Inggris menerima sebanyak 3000 anak-anak tanpa orang tua dari Siria dan Afganistan. Bagaimana rasanya memulai perjalanan baru sendirian dan tanpa orang tua? Berikut kisahnya.

Mohamed Hajy, lelaki asal Siria ini berkisah. Saat berumur 15 tahun, ia mencoba mengungsi dari Siria ke Yunani menggunakan perahu yang nyaris tenggelam. Perahu itu diisi 39 warga Siria yang putus asa. Saat itu mereka masih jauh dari pantai di Yunani. Menurutnya, ia selamat di detik-detik terakhir saat kapal penolong datang. Beruntung, kapal itu hadir di saat yang tepat. Kalau tidak, semua pengungsi itu bakal mati di air yang sedingin es. “Kebanyakan dari mereka tidak bisa berenang,” katanya dikutip dari theguardian.com. “Menggunakan jaket penyelamat pun tidak akan menolong mereka.”

Itu pengalaman terburuk sepanjang hidupnya menjadi pengungsi. Sebelumnya, Hajy mengatakan saat di Siria kelompok Islamic State (ISIS) menangkapnya. Lalu, saat berada di Turki, ia harus melakukan kerja paksa untuk bertahan hidup.

Ia mengingat kembali pengalamannya saat diselamatkan. Sambil memegang kamera di sebuah pabrik, tempat kerjanya, ia berkata,”Saya harus bekerja 14 jam sehari.” Ia menambahkan, “Dengan bos yang selalu menyuruh bekerja lebih cepat, lebih cepat.” Hajy mendapatkan upah 300 dolar per bulan. Menurutnya itu hanya cukup untuk membayar sewa.

Apa yang ia terima di Turki dan Siria jelas-jelas melanggar konvesi lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa yang membahas mengenai hak anak. Ia memilih bepergian ke negara-negara di Eropa. Baginya, itu pilihan yang mudah – meski, diakuinya, ada risiko kematian ketika berada di lepas pantai Yunani. Bagaimanapun juga, ia sendiri dan tidak ada orang dewasa yang menemaninya.

“Di Turki, saya tidak punya masa depan,” kata Hajy. “Hidup jadi membosankan. Pendidikan saya seperti berada di atas mesin jahit. Dan saya tidak mau melakukannya di sisa hidup saya.”

Bisa jadi, kisah Hajy ini sesuatu yang jamak. Di Turki, ia satu diantara 400 ribu anak usia sekolah yang menjadi pengungsi dan kehilangan akses ke sekolah – menurut penggiat hak asasi manusia, faktor ini yang bisa mendorong mereka untuk mengambil kesempatan menjadi pengungsi di atas laut.

“Gagal untuk memberikan pendidikan menjadikan seluruh generasi di Siria berisiko,” kata Human Right Watch di sebuah laporan yang diterbitkan November lalu. “Dengan tidak adanya harapan untuk masa depan yang lebih baik, pengungsi Siria yang putus asa akan kembali ke Siria atau menempuh perjalanan berbahaya ke Eropa.” Mohamed Hajy sudah membuktikannya.

Sedangkan Gulwali Passarlay dari Afganistan punya kisah serupa. “Saat saya melihat laporan mereka yang tenggelam di laut, itu mengingatkan saya akan kisah yang sama. Saya masih punya mimpi buruk.”

Sembilan tahun lalu, Gulwali berumur 12 tahun.  Saat itu ibunya “memaksanya” meninggalkan Afganistan setelah pasukan tentara Amerika membunuh lima anggota keluarganya. “Dulu saya punya kehidupan yang indah. Saya dulu penggembala. Saya menghabiskan banyak waktu bersama kakek di gunung. Ayah saya dokter. Tapi sayangnya, sesuatu terjadi. Kelompok Taliban ingin merekrut kami. Kami pun terpaksa pergi.”

Gulwali lalu menghabiskan waktu untuk berkelana, sendirian, dari Timur Tengah ke Eropa. Ia meminta tumpangan kepada siapa saja untuk bisa sampai ke Inggris. Disana, ia berharap bisa bertemu kembali dengan saudaranya.

Tahun lalu, sebagai pengungsi di Eropa, ia membaca artikel yang mengganggu perasaannya. “Saya tahu bagaimana rasanya ada di situasi berisiko dan perjalanan berbahaya,” katanya. “Rasa takut karena ketidaktahuan. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Apa yang akan terjadi kemudian. Saya melihat kematian terjadi di depan mata, terutama saat saya melintasi laut Mediterania.”

Dia berdesakan selama 49 jam bersama 100 pengungsi lainnya di atas perahu yang didesain untuk 50 orang.  Air laut mulai masuk ke dalam perahu, lalu beberapa orang menceburkan diri. Dia kawatir kalau dia tenggelam, tubuhnya akan hilang dan keluarganya tidak akan pernah tahu apa yang terjadi padanya.

“Saat saya melihat liputan orang-orang tenggelam di laut, itu mengingatkan kembali kisah saya sendiri. Saya masih punya mimpi buruk. Dan itu masih membuat saya terbangun.”

Baginya, situasi terburuk saat dia diperlakukan seperti bukan anak-anak saat melakukan perjalanan ke Inggris. Selain pernah ditahan di Turki dan Bulgaria, Gulwari juga dideportasi dari Iran. Saat ia menunggu tumpangan menuju Inggris dari kota Calais, Perancis, tiba-tiba ia ditahan otoritas resmi.

“Saya dilarang tidur oleh polisi,” katanya. “Mereka tahu saya sudah berjalan semalaman. Lalu saya kembali untuk tidur di tenda kecil yang saya buat bersama teman saya.” Ia menambahkan setiap pagi polisi membangunkannya dengan air dingin sambil berkata, “Bonjour (halo dalam bahasa Perancis).” Katanya, “Lalu mereka mulai menginterogasi kami.”

Baginya, pemerintahan yang paling ramah anak ialah otoritas Italia. “Saya duduk di atas mesin truk. Dan itu sangat berbahaya. Kalau saja saya melepaskan tangan dari pegangan, saya pasti jatuh dan terlindas. Saya sangat beruntung bisa selamat.”

Otoritas resmi menangkapnya di jalan tol. Hal pertama yang mereka lakukan ialah memberi makanan, roti dan jus. Waktu itu ia merasa sangat haus dan lapar. Mereka memberinya pakaian baru karena pakaian yang ia kenakan sangat kotor; lalu mereka mengirimnya ke rumah singgah bagi anak. Disanalah, satu-satunya tempat dimana dia benar-benar diperlakukan sebagai seorang anak. Disana juga, dia bisa mandi dan makan secara layak. “Mereka orang-orang baik. Sayangnya, saya harus meninggalkan Italia. Saya ingin bertemu saudara saya.”

Gulwari berusia 13 tahun saat tiba di Inggris. “Saya duduk di belakang truk pengangkut pisang,” katanya. Ketika sampai di kota Kent, Inggris, pejabat setempat menginterogasinya. Ia tidak membawa paspor dan akta kelahiran. “Mereka menganggap saya berumur 16 tahun. Mereka tidak percaya umur saya. Mereka tidak percaya kewarganegaraan saya. Mereka tidak percaya apapun yang saya katakan. Saya merasa dikorbankan. Itulah saat dimana saya ingin bunuh diri,” katanya.

Ia mengisahkan, saat membutuhkan pertolongan menghubungi saudaranya, ia justu tidak mendapat bantuan. “Mereka bilang: ada lebih dari 60 juta orang di Inggris. Kami tidak bisa menemukan saudaramu.”

Dia merasa kecewa atas perlakukan pemerintah Inggris yang tidak mendampingi anak-anak migran. “Mereka membuatmu berumur 16 tahun. Jadi, mereka tidak harus mengirimmu ke keluarga asuh dan tidak perlu kawatir dengan pendidikanmu. Bagi mereka, itu analisis biaya dan manfaat. Tapi mereka telah menghancurkan hidupku, menghancurkan masa depanku,” katanya.

Ingatannya  terusik saat ia mengunjungi, Calais Jungle, enam minggu lalu. Ia mengenang saat-saat ia mengalami kondisi terburuk ketika itu. “Sungguh memalukan bagi pemerintah Inggris dan sebagian negara-negara di Eropa. Orang-orang berteriak, “Kami butuh makanan, air dan tempat tinggal,” tapi yang kami perlukan segera ialah martabat dan rasa hormat.”

Meski begitu, dia menyambut baik ide dari pemerintah Inggris untuk memberi suaka anak-anak korban perang. “Berinvestasilah ke anak-anak ini dan mereka akan berkontribusi kepada komunitas masyarakat Inggris. Beberapa diantara mereka mungkin akan kembali ke Siria dan Afganistan,” katanya. Tapi ia ingin pemerintah tahu bahwa anak-anak itu akan kembali berjuang meski sudah mendapat suaka.

“Masalah itu belum berakhir. Itu justru dimulai lagi. Kalian semua di tangan orang-orang asing. Saya tidak bertemu ibu saya selama 10 tahun. Ini pertarungan yang hebat di diri saya. Nenek yang paling saya cintai meninggal. Dan saya tidak ada di sana. Adik saya meninggal. Dan saya tidak di sana. Bahkan sekarang saya berpikir: apa gunanya hidup saya aman dan saya punya jaminan pendidikan kalau tidak ada di sana bersama adik saya, untuk menggenggam tangannya dan ada bersamanya? Hidup ini singkat.”

Penulis : Al. Indratno
Editor : Al. Indratno
Sumber : theguardian.com

 


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    JOGJAFAMILY

    JOGJAFAMILY

    JogjaFamily 100,9 FM


    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    JIZ 89,5 FM

    JIZ 89,5 FM

    Jiz 89,5 FM


    UNIMMA FM 87,60

    UNIMMA FM 87,60

    Radio Unimma 87,60 FM


    SOLORADIO 92,9 FM

    SOLORADIO 92,9 FM

    Soloradio 92,9 FM SOLO


    UNISI 104,5 FM

    UNISI 104,5 FM

    Unisi 104,5 FM


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini