Gudeg.net - “Saiki golek panggonan jembar ning desa kanggo Ngayogjazz wis soyo angel. (Sekarang mencari lokasi yang luas di wilayah perdesaan untuk penyelenggaraan Ngayogjazz semakin sulit). Kalimat tersebut disampaikan salah satu inisiator Ngayogjazz Vindra Diratara dalam obrolan ringan saat persiapan Ngayogjazz 2023 di Padukuhan Gancahan, Senin (13/11/2023) pagi.
Dalam setiap penyelenggaraan, desa dengan seluruh dinamikanya menjadi lokus pengembangan Ngayogjazz dari tahun ke tahun. Selama tujuh belas kali penyelenggaraan Ngayogjazz hadir dengan membangun inisiasi bersama dan berkolaborasi dengan masyarakat setempat untuk terlibat aktif didalamya. Sinergi tersebut selalu bertumbuh baik didalam tim penyelenggara Ngayogjazz maupun bersama dengan masyarakat setempat.
Kalimat yang disampaikan Vindra sekilas terkesan sederhana mengingat realita hari ini mencari area publik yang lapang di pedesaan di wilayah Yogyakarta sudah semakin susah bersamaan tumbuhnya perdesaan-perdesaan menjadi wilayah suburban penyangga kota.
Ngayogjazz 2023 diselenggarakan pada Sabtu (18/11/2023) di Padukuhan Gancahan, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Godean – Sleman dalam penyelenggaraan yang bisa dihadiri langsung oleh pengunjung maupun live streaming melalui kanal YouTube “Ngayogjazz”.
Dalam setiap penyelenggaraan Ngayogjazz selalu menghadirkan enam panggung, lima panggung disediakan untuk perform musik jazz sementara satu panggung disediakan untuk penampilan seni tradisi. Diluar enam pangung tersebut masih terdapat beberapa spots untuk Reriungan, Pasar Jazz, posko pendukung acara yang bisa diakses pengunjung.
“Tahun ini hanya ada empat panggung. Selain menyesuaikan dengan logistik, ternyata mencari area yang luas di pedesaan untuk acara Ngayogjazz sudah semakin sulit.” jelas Vindra Diratara ketika ditemui saat persiapan Ngayogjazz 2023, Senin (13/11) pagi di Padukuhan Gancahan.
Semakin sulit mencari area yang luas di perdesaan menjadi entry point penting bagi penyelenggaraan Ngayogjazz di masa-masa mendatang.
Memperbincangkan Ngayogjazz adalah menyoal tentang pedesaan sebagai ranah kehidupan terkecil yang berdaulat. Di desalah rembug antarwarga masih menempati posisi penting dalam mencari solusi kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Selain desa sebagai tempat, setidaknya terdapat nilai-nilai lokal yang dituangkan kedalam tema dalam setiap penyelenggaraan Ngayogjazz dengan menempatkan spirit warga desa suguh, lungguh, senang ketika kedatangan tamu sebagai upaya membuka dan membangun ruang dialog-dialektika. Tema tersebut berkembang secara dinamis yang sebagian besar diambil dari bebasan-paribasan Jawa yang mengalami modifikisasi (plesetan) dalam konteks hari ini.
Ngayogjazz dari waktu ke waktu
Pada penyelenggaraan pertama kali tahun 2007 Ngayogjazz mengangkat tema “Jamane Jaman Nge-Jazz, Yen Ra Nge-Jazz Ra Kedum-Jazz” diambil dari bebasan ‘jamane jaman edan, yen ra ngedan ra keduman’, sementara pada penyelenggaraan Ngayogjazz 2023 mengangkat tema Handarbeni, Hangejazzi diambil dari tetembungan yang pernah diucapkan oleh KGPAA Mangkunegara I atau dikenal juga sebagai Pangeran Sambernyawa : melu handerbeni, rumangsa hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani yang kurang lebih bermakna berkewajiban ikut membela/mempertahankan, merasa ikut memiliki, berani melakukan introspeksi / mawas diri.
Ngayogjazz 2023 di Padukuhan Gancahan, Sidomulyo, Sabtu (18/11/2023). (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Memarodikan bebasan/paribasan/tetembungan dalam sebuah peristiwa menjadi pilihan penyelenggara Ngayogjazz dalam membahasakan tema berangkat dari realitas sehari-hari kehidupan masyarakat desa. Sekedar kilas balik membaca tema dalam setiap penyelenggaraan bisa dibaca bagai keterkaitan tema dengan lolasi penyelenggaraan Ngayogjazz.
Pertama kali digelar pada Minggu (4/11/2007), Ngayogjazz dihelat di Padepokan Seni Bagong Kussudiarja (PSBK) yang berada di Padukuhan Kembaran Tamantirto, Kasihan-Bantul mengangkat tema “Iki Jaman E-Jazz Yen Ora Ngejazz Ora Kedumjazz” dengan mudah publik akan mengasosiasikan tema tersebut dengan ramalan pujangga Ronggo Warsito dalam Serat Kalathida : Amenangi jaman edan /ewuh aya ing pambudi /Melu edan nora tahan /yen tan milu anglakoni /boya kaduman melik / kaliren wakasanipun.
Setahun berikutnya Ngayogjazz dihelat pada 23 November 2008 di Desa Wisata Tembi, Timbulharjo dalam tema “Nja-jazz Desa Milang Kori”. Dari dua penyelenggaraan awal Ngayogjazz menemukan pola pemilihan lokalitas desa yang jauh dari kerumunan dan keramaian kota sebagai lokus kegiatan diperkuat dengan tema yang diambil dari bebasan Jajah desa milangkori yang kurang lebih memiliki makna menjelajahi desa dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu warga. Ini berlanjut pada penyelenggaraan Ngayogjazz 2009 pada Sabtu (19/11/2009) di Pasar Seni Gabusan mengangkat tema Jazz Basuki Mawa Beya.
Penyelenggaraan Ngayogjazz 2010 mengalami perubahan waktu yang biasanya digelar pada minggu ketiga bulan November dipindahkan pada 15 Januari 2011 di Plataran Djoko Pekik Padukuhan Sembungan, Bangunjiwo mengangkat tema “Mangan Ora Mangan Ngejazz”. Sementara Ngayogjazz 2011 sesuai jadwal digelar di kawasan Kotagede mengangkat tema “Nandoer Jazzing Pakarti”. Praktis dalam tahun 2011 digelar 2 kali Ngayogjazz, dan kawasan Kotagede menjadi satu-satunya tempat penyelenggaraan Ngayogjazz yang berada di wilayah perkotaan.
Penyelenggaraan Ngayogjazz memasuki babak baru saat memutuskan untuk menggelar di sebuah desa yang jauh dari perkotaan. Akhirnya dipilih Padukuhan Brayut Pandowoharjo, Sleman mengangkat tema “Dengan Jazz Kita Tingkatkan Swasembada Jazz” pada tanggal 18 November 2012. Selain unsur lokalitas dan histori, pelibatan warga setempat semakin diintensifkan dalam mengelola perparkiran, fasilitas umum untuk kenyamanan pengunjung, maupun warung makan-minum yang dikelola sendiri oleh warga setempat.
Dalam penyelenggaraan Ngayogjazz 2013 pada Sabtu (16 November 2013), selain tema dinamika sosial “Rukun Agawe Ngejazz”, secara implisit penyelenggara Ngayogjazz memasukkan isu lingkungan saat memilih Padukuhan Sido Akur, Sidokarto, Godean-Sleman yang dikenal sebagai desa wisata yang telah mengelola sampah secara mandiri.
Padukuhan Brayut Pandowoharjo Sleman mendapat kesempatan kedua menjadi tempat penyelenggaraan Ngayogjazz 2014 mengangkat tema “Tung Tak Tung Jazz”. Berikutnya pada Ngayogjazz 2015 masih di Kalurahan Pandowoharjo, Ngayogjazz 2015 bergeser ke Padukuhan Karang Tanjung mengangkat tema “Bhinneka Tunggal Jazz-nya”. Pemilihan Karang Tanjung ketika itu didasari pada masih bertumbuhnya praktik toleransi yang masih terjaga secara organis di antara warga.
Padukuhan Kwagon, Sidorejo-Godean yang merupakan sentra industri genteng rakyat menjadi pilihan tempat penyelenggaraan Ngayogjazz 2016 pada Sabtu (19/11/2016) dengan tema “Hamemayu Karyenak Jazzing Sasama”. Ada hal menarik di tempat yang merupakan sentra industri genteng dengan bahan baku tanah liat, pertanian dan area persawahan di Kwagon relatif masih terjaga. Industri genteng menjadi salah satu ancaman bagi keberlangsungan pertanian di pedesaan.
Dengan mengangkat tema “Wani Ngejazz Luhur Wekasane” mengadopsi paribasan Wani Ngalah Luhur Wekasane, pada gelaran Ngayogjazz 2017 digelar di Padukuhan Kledokan Wedomartani, Kalasan-Sleman pada Sabtu (18/11) yang mencoba menyentil mereka yang lebih mengedepankan ego-nya untuk menang sendiri dengan segala cara apapun demi keuntungan dan tujuan pribadi atau kelompoknya. Padukuhan Kledokan pada masa lalu menjadi salah satu area perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebuah monumen Taruna Plataran menjadi saksi dan penanda bagi sebuah pertempuran pada masa Agresi Militer Belanda kedua.
Ketika itu mendiang Djaduk Ferianto (salah satu penggagas Ngayogjazz) dalam jumpa media Kamis (16/11/2017) memberikan statement menarik "Jazz itu bukan sekedar bermain (musik) di panggung, tapi sebagai sebuah kehidupan. (Dengan penyelenggaraan Ngayogjazz yang selalu dihelat di desa-desa) di situlah kita (bisa) belajar tentang kearifan lokal dari desa: guyub, greget, gayeng."
Pianis Jerry Pellegrino saat tampil di Ngayogjazz 2013. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pilihan kawasan perdesaan sebagai panggung sekaligus lokus pengembangan semakin dipertegas saat Ngayogjazz 2018 digelar di Padukuhan Gilangharjo, Pandak-Bantul dengan tema “Negara Mawa Tata Jazz Mawa Cara” pada Sabtu (17/11/2018). Desa adalah entitas politik terkecil berdaulatnya hubungan antar manusia secara bermartabat. Desa bukanlah sekedar hamparan tanah yang dihuni masyarakat, bukan wilayah dan unit administrasi pemerintahan yang mudah dikendalikan oleh pemerintah. Desa merupakan identitas, institusi, dan entitas lokal seperti "negara kecil" yang memiliki wilayah, kekuasaan, sumber daya, pranata lokal, dan masyarakat. Dan Ngayogjazz menjadi cara lain menikmati desa secara guyub, greget, gayeng.
Setiap penyelenggaraan Ngayogjazz memiliki kenanganannya sendiri, namun Ngayogjazz 2019 akan dikenang sebagai salah satu penyelenggaraan Ngayogjazz paling meriah, namun pada saat bersamaan diselimuti dengan duka mendalam publik Ngayogjazz atas meninggalnya Djaduk Ferianto pada Rabu (13/11/2019) tiga hari sebelum penyelenggaraan Ngayogjazz 2019.
Digelar di Padukuhan Kwagon Sidorejo Godean pada Sabtu (16/11/2019) Ngayogjazz mengangkat tema “Satu Nusa Satu Jazz-nya”. Selain tema ada pesan menarik disampaikan Kepala Dukuh Kwagon ketika itu “Kenangan selalu manis, kalaupun kenangan yang tidak manis ditinggali sampah itu kan bagian dari kehidupan meskipun jika dikelola dengan sabar juga bisa memiliki nilai ekonomi,”
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia berimbas langsung pada penyelenggaraan Ngayogjazz yang tidak memungkinkan untuk digelar dan dikunjungi langsung oleh publik. Dalam dua tahun penyelenggaraan Ngayogjazz 2020 dan 2021, Padukuhan Karang Tanjung Pandowoharjo dengan segala sarpras yang dimiliki menjadi pilihan penyelenggaraan Ngayogjazz secara daring dan luring terbatas.
Pada penyelenggaraan Ngayogjazz 2020 dengan mengangkat tema “Ngejazz tak Gentar” dihelat secara daring untuk keseluruhan panggung akibat diterapkannya kebijakan PPKM yang membatasi perjumpaan langsung untuk memutus matarantai penyebaran virus corona. Seluruh panggung dibuat di Karang Tanjung tanpa ditonton secara kunjungan langsung selain penyelenggara Ngayogjazz dan warga yang diperkenankan secara terbatas. Selebihnya publik bisa menyaksikan langsung secara daring melalui kanal-kanal yang disediakan Ngayogjazz.
Masih di tempat yang sama Ngayogjazz 2021 yang mengangkat tema “Tetep Nge-Jazz lan Waspada” dalam metoda bauran daring dan luring terbatas. Selain pesan simpatik kepada masyarakat dalam tema yang diangkat, Ngayogjazz secara pelan-pelan masuk dalam ranah isu lingkungan dengan memilih Padukuhan Karang Tanjung sebagai tempat penyelenggaraannya.
Padukuhan Karang Tanjung merupakan dukuh yang sadar terhadap perubahan iklim. Warga masih mempertahankan pertanian, peternakan, perikanan yang ramah lingkungan sehingga turut menjaga iklim mikro wilayahnya. Karang Tanjung masuk dalam kategori pedukuhan yang peduli pada perubahan iklim melalui Program Kampung Iklim (ProKlim), sebuah program berlingkup Nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rangka meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lain untuk melakukan penguatan kapasitas adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca. Pada tahun 2020 Padukuhan Karang Tanjung mendapatkan penghargaan ProKlim Utama 2020 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Panggung : pada sebuah area kebun jagung. Ngayogjazz 2023. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Langkah Ngayogjazz memasukkan isu lingkungan semakin menguat saat menetapkan Padukuhan Cibuk Kidul, Margo Dadi Seyegan sebagai tempat perhelatan Ngayogjazz 2022 yang mengangkat tema “Kena Jazz-e Tetep Bening Banyune” pada Sabtu (18/11/2022).
Pilihan lokasi tersebut menjadi menarik dimana dalam dua kali penyelenggaraan terakhir Ngayogjazz memilih lokasi pedesaan yang memiliki kekhasan usaha mina padi oleh masyarakatnya serta memiliki kepedulian pada perubahan iklim melalui Program Kampung Iklim (ProKlim), sebuah program berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rangka meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lain untuk melakukan penguatan kapasitas adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca.
Tahun 2022 Padukuhan Cibuk Kidul dengan usaha mina padi di masyarakat mendapat penghargaan peringkat pertama dalam ProKlim tingkat DIY. Upaya tersebut untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang diterapkan dalam usaha mina padi oleh masyarakat diantaranya menjaga kelestarian sungai yang bersih-sehat dan mengalir sepanjang tahun.
Perhelatan Ngayogjazz 2023 digelar pada Sabtu (18/11) mengangkat tema “Handarbeni, Hangejazzi” di Padukuhan Gancahan, Sidomulyo, Godean-Sleman. Pilihan Padukuhan Gancahan salah satunya didasarkan pada aspek historis dengan adanya Makam Kyai Wirajamba yang merupakan abdi dalem dan paman dari Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan HB I, serta adanya komunitas Jimborodono yang konsen terhadap penanganan sampah warga secara mandiri.
“Saya pernah meliput festival jazz di Prancis lokasinya di pantai. Tapi tidak ada perangkat pemerintah desa/kecamatan yang hadir. Hanya di Ngayogjazz kita bisa menyaksikan carik (sekretaris desa) turut mempersiapkan festival musik jazz dan memberikan pernyataan dalam jumpa media.” jelas wartawan senior Frans Sartono saat jumpa media Ngayogjazz 2023, Kamis (16/11) siang.
Frans Sartono memaparkan dengan melihat venue-nya saja, Ngayogjazz mengembalikan kehidupan itu sendiri sebagai panggung. Mengambil contoh saat Ngayogjazz dihelat di Brayut yang sudah dua kali diselenggarakan di sana. Di samping panggung ada pohon mangga, durian, penonton kehujanan njedhindhil bersama ayam yang berteduh di samping rumah warga.
Saat penyelenggaraan Ngayogjazz 2015 di Karang Tanjung, sebuah panggung didirikan persis di samping makam warga yang berdempetan dengan kandang sapi yang menjadi area festival untuk menonton. Begitupun pada saat penyelenggaraan Ngayogjazz 2016 di Kwagon, beberapa tobong pembakaran genteng digunakan sebagai area transit untuk penampil.
“Penonton mengenakan mantol (jas hujan), di sebelahnya ayam di dalam kandang bambu yang terkena tempias air hujan. Itulah realitas hidup yang merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri.” imbuh Frans.
Frans Sartono menambahkan respons terhadap suasana sekelilingnya justru menjadikan permainan para penampil menjadi lebih hidup. Ini menjadi semacam spirit of the moment, semangat kesaatituan yang tidak bisa diulang. Misalnya dia main di North Sea, Java Jazz, atau di Ngayogjazz dengan membawakan komposisi yang sama dia akan tampil dengan spirit of the moment yang sangat dipengaruhi oleh suasana panggung, respons penonton, dan itu akan sangat berpengaruh didalam permainan mereka.
“Pernah saya tanya pada musisinya “terganggukah kamu yang biasa main di panggung dengan perlengkapan gedung yang lengkap, tiba-tiba hadir di desa dan tampil di panggung yang berada di bawah pohon durian?” jawabanya “lokasi dan respons audiens menjadi bagian dari performance-nya. Mereka merespons apa yang terjadi di sekitarnya. Mereka memainkan lagu tidak sekedar memainkan seperti apa yang sudah mereka konsep-tulis.” jelas Frans Sartono.
Saat tampil pada Ngayogjazz 2013 di Padukuhan Sido Akur, Jerry Pellegrino musisi-pianis berkebangsaan Amerika Serikat tidak bisa menyembunyikan rasa keheranannya : “It’s crazy. Festival jazz bisa dinikmati secara gratis. Digelar di sebuah perkampungan desa. Tadi sempat berbincang dengan musisi yang datang mereka membiayai dirinya sendiri. Amazing. Such a crazy moments.”
Wilayah perdesaan sebagai lokus pengembangan Ngayogjazz
Saat penyelenggaraan Ngayogjazz 2016, seniman Komunitas Lima Gunung Tanto Mendut memberikan gambaran bagaimana desa adalah sebuah entitas masyarakat paling jazzy dan multikultur. Terkait pilihan lokasi perhelatan yang memilih wilayah perdesaan, Tanto memberikan pandangan tentang masyarakat desa yang bisa menjadi daya tarik sekaligus kekuatan.
"Jogja yang paling menarik adalah yang bersaing dengan Jakarta dan Bandung adalah desanya. Suguh, lungguh, senang ketika kedatangan tamu. Itu ciri-cirinya wong ndeso yang harus dipelajari orang kota dalam hal memahami multikultur," kata Tanto.
Namun realitas hari ini desa-desa di wilayah Yogyakarta mengalami proses urbanisasi dalam banyak hal ketika pariwisata menjadi komoditas utama penyumbang PDRB. Sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari.
“Permukiman di wilayah Yogyakarta tumbuh dan berkembang. Konsekuensinya kebutuhannya semakin meningkat. Jumlah orang yang masuk (tinggal dan menetap ke wilayah Yogyakarta) lebih banyak dibanding yang keluar.” kata Vindra dalam obrolan santai di sela-sela jumpa media Ngayogjazz, Kamis (16/11/2023) siang.
Vindra memberikan ilustrasi bagaimana pelajar-mahasiswa yang datang dan belajar ke wilayah dibelikan tanah/rumah oleh orang tuanya. Orang pensiun memilih hidup Yogyakarta. Hal tersebut berdampak pada pertama, permukiman semakin padat dan berkembang yang akhirnya mengarah pada wilayah perdesaan. Ngayogjazz harus selalu beradaptasi dengan eksisting (sosial-lingkungan) yang terus berubah tersebut.
Kedua, dalam konteks bagaimana sebuah kampung/dukuh mempertahankan kelokalannya. Sebagai gambaran, suasana perkotaan di wilayah Yogyakarta suasana kulturnya sudah berbeda (dibanding masa-masa sebelumnya) dibandingkan dengan jika berada di desa atau kampung di pinggiran kota Yogyakarta.
“Guyubnya berbeda. Orientasi sosial-ekonomi berbeda. Bagaimana upaya mempertahankan kulturnya berbeda. Ini menjadi salah satu tantangan Ngayogjazz dalam menentukan lokasi.” jelas Vindra.
Terjadinya perubahan terkait dengan pilihan desa sebagai lokasi Ngayogjazz, Vindra memberikan gambaran perubahan yang terjadi pada beberapa lokasi Ngayogjazz yang sudah pernah ditempati lebih dari satu kali dimana terjadi perubahan dan perbedaan yang cukup signifikan.
Di Kwagon menjadi sample yang sangat menarik karena suasana-nuansa kulturnya bisa didapatkan. Masyarakatnya permisif, tempatnya luas. Di Karang Tanjung meskipun lokasinya tidak terlalu luas, namun masyarakat menyambut baik masuknya event-event terutama Ngayogjazz. Sementara di Brayut telah mengalami perubahan alih fungsi lahan dari pertanian dan ruang terbuka menjadi daerah permukiman akibat tingginya permintaan hunian.
“Di tempat-tempat tersebur terjadi perubahan yang dinamis. Lahan-lahan yang dulu belum ada bangunannya –termasuk lahan pertanian- saat ini mulai tumbuh perumahan-perumahan, cluster-cluster. Jual beli tanah banter banget sebagai investasi. Ngayogjazz sendiri memerlukan sesuatu atau lahan yang bisa mengakomodasi kebutuhan Ngayogjazz.” jelas Vindra
Tanpa disadari dalam posisi demikian Ngayogjazz sekaligus menjadi sebuah pengingat untuk tidak menyebut sebagai kritik. Ketika desa menjadi lokus penyelenggaraan Ngayogjazz pada saat bersamaan rupa desa terus mengalami perubahan dari agraris dengan tradisi perdesaannya berangsur-angsur menjadi urban dengan segala konsekuensinya.
“Saya tidak bisa membayangkan 10 tahun lagi Ngayogjazz mau ditempatkan dimana dengan generasi yang berbeda, kultur agraris yang menjadi salah satu warna Ngayogjazz sangat mungkin akan hilang, begitupun dengan generasi mudanya yang saat ini masih mudah ditemui menggeluti kesenian tradisi. Saat ini ada kecenderungan anak-anak muda bermigrasi ke kota-kota besar di luar Yogyakarta. Sedikit banyak kondisi tersebut akan mengubah banyak hal.” Jelas Vindra.
Gitaris Dewa Budjana saat tampil pada Ngayogjazz 2019 memberikan pernyataan menarik : ”Mungkin hanya ada satu-satunya di dunia dimana musik jazz digelar di pedesaan. Ini yang selalu membuat saya senang (untuk bisa hadir). Mudah-mudahan ini terus berlanjut.”
Dalam penyelenggaraan Ngayogjazz 2017, Kepala Dukuh Kledokan menyebutkan 3-G menjadi penyemangat warga dalam membangun kampungnya. Ketiga G tersebut adalah guyub, greget, gayeng menjadi salah satu pertimbangan Kledokan dijadikan tempat penyelenggaraan Ngayogjazz 2017.
Satu pesan jelas dari Ngayogjazz adalah bahwa Ngayogjazz bukanlah semata-mata tentang menyelenggarakan musik di desa. Lebih dari itu, Ngayogjazz adalah tentang menuai dialog yang tumbuh secara organis di wilayah perdesaan. Urusan musikalitas sendiri bagi para penampil sudah selesai. Di panggung manapun pengunjung menonton akan disuguhi permainan musik yang sama menariknya.
“Yang dipertahankan dari Ngayogjazz adalah ranah kebudayaannya. Tapi memang mau tidak mau kebudayaan itu harus bersinggungan dengan perubahan jaman, karena kebudayaan itu sendiri adalah produk jaman.” kata Vindra
Apakah lantas Ngayogjazz menjadi kritik atas perubahan yang terjadi? Vindra menjelaskan untuk melakukan kritik atas kebijakan pembangunan dan seterusnya yang terkait dengan alih fungsi lahan dll perlu effort yang lebih besar. Yang bisa dilakukan adalah Ngayogjazz harus menyiapkan diri untuk beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Entah bentuknya seperti apakah akan tetap mempertahankan kawasan perdesaan beserta masyarakatnya sebagai lokus Ngayogjazz seperti yang saat ini dilakukan atau benar-benar pindah ke sebuah tempat yang bisa jadi tidak berpenghuni.
“Bukan berarti terus memindahkan pada gedung pertunjukan -ansich- terus ke gedung pertunjukan TBY atau sejenisnya. Konsepnya tetap, Ngayogjazz adalah membangun ruang dengan menghadirkan suasana sosio-kultur seperti Ngayogjazz pada saat ini. Ini menjadi tantangan bagi Ngayogjazz. Sejauh ini tetap mempertahankan/memperjuangkan untuk menyelenggarakan di desa-desa atau tempat yang berpenghuni karena bagaimanapun juga itu menjadi bagian dari kebudayaan.” jelas Vindra.
Vindra menambahkan ketika perebutan ruang hidup semakin keras, kuncinya pada adaptasi. Seberapapun besarnya, adaptasi tetap harus terus dilakukan. Beruntungnya sejak awal Ngayogjazz berusaha untuk terbiasa dengan adaptasi. Menghindari kata-kata transaksional untuk event seperti ini, mengingat selain keterbatasan anggaran (budget), ada kesulitan untuk menghitung (valuasi) dengan mengkonversi sewa gedung concert hall TBY misalnya dengan mengkonversikan dengan sewa ruang perdesaan. Artinya memang harus ada reward yang sepadan, dalam hal ini bagaimana pemberdayaan masyarakat yang menjadi tuan rumah untuk diprioritaskan dan dilibatkan agar pendapatan perekonomian bisa naik meskipun hanya dalam beberapa hari itu.
“Kemampuan beradaptasi semisal berpindah tempat setiap penyelenggaraan, beradaptasi dengan ruang untuk panggung pertunjukan, beradaptasi terhadap perubahan sosio-kultur di masyarakat. Meskipun realitasnya untuk mendapatkan ‘ruang’ yang luas dan layak bagi penyelenggaraan Ngayogjazz saat ini semakin susah.” pungkas Vindra.
Sebagai sebuah peristiwa yang berlangsung hanya dalam satu hari, bagi penyelengaranya Ngayogjazz justru merupakan kerja sepanjang tahun. Dalam pola kerja komunitas dimana anggotanya bisa bebas datang dan pergi, Ngayogjazz dipersiapkan sejak awal tahun (Januari tahun berjalan) dengan menentukan tema, tempat, kerjasama, serta hal-hal berkaitan teknis pelaksanaan. Sementara konten acara dengan lima-enam panggung ditambah satu panggung seni tradisi beserta aktivitas perekonomian maupun dinamika sosial didalamnya yang melibatkan warga desa sebagai pelaku utamanya sudah menjadi pemandangan yang selalu hadir dalam setiap penyelenggaraan Ngayogjazz.
Satu hal yang menjadi kesepakatan bersama hingga saat ini diantara tim penyelenggara Ngayogjazz adalah hari Sabtu pada minggu ketiga bulan November sebagai waktu penyelenggaraan Ngayogjazz. Tempatnya dimana? Biarlah para penyelenggara Ngayogjazz bersama warga tuan rumah yang memikirkannya. Publik cukup menunggu kabar baik dari mereka dan menikmati apa yang tersaji saat Ngayogjazz digelar nantinya.
Dan cara terbaik menikmati Ngayogjazz adalah nikmati saja apapun dan dimanapun yang tersaji di area Anda berdiri. Setiap panggung dan area Ngayogjazz selalu memberikan pengalaman terbaik bagi pengunjung.
Kirim Komentar