Gudeg.net. – Merayakan pameran tunggalnya yang ketujuh bertajuk “Ngunda Rasa. Gerak, Nada dan Rupa”, seniman-perupa Dewa Made Mustika menggelar prosesi pembukaan dalam sebuah perhelatan kolabiratif yang melibatkan anak keduanya sebelum berangkat ke Bali.
“Back to the roots. Setelah lulus sekolah dasar, adik saya akan kembali ke Bali. Belajar berkesenian di sana kepada Kakek, Paman, dan saudara-saudara di sana.”
Kalimat tersebut disampaikan I Dewa Gd Gilang Pratiwimba anak pertama Dewa Made Mustika (Dewo) saat pembukaan pameran tunggal “Ngunda Rasa”, Sabtu (8/6) malam di pelataran Sangkring art. Wimba mewakili adiknya yang masih duduk di bangku kelas 6 SD memberikan penjelasan proses karya dalam mempersiapkan pameran tunggal ketujuh Dewo.
Suasana pembukaan pameran tunggal Dewa Made Mustika bertajuk “Ngunda Rasa” di Sangkring art project, Sabtu (8/6) malam. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Wimba menambahkan pameran “Ngunda Rasa” berangkat dari kegelisahan Dewo pada keinginan anak keduanya yang akan kembali ke Bali untuk belajar seni tradisi Bali sebagai pondasi berkesenian nantinya. Sejak TK hingga kelas 6 SD, Dewo selalu mendampingi berkesenian anak keduanya yang memiliki ketertarikan pada seni tari, pedhalangan, serta karawitan. Kebetulan selain seni rupa, Dewo juga menguasai seni pertunjukan tradisi Bali yang diturunkan dari bapaknya.
Pameran tunggal “Ngunda Rasa. Gerak, Nada, dan Rupa” berlangsung di Sangkring art project 8-15 Juni 2024 dibuka oleh M. Dwi Marianto (pengajar Seni Rupa ISI Yogyakarta) Sabtu (8/6) malam.
Diakui Dewo selama pendampingan anak keduanya dia lebih banyak menjadi rekan berkesenian dibanding sebagai pembimbing ataupun guru. Dari interaksi keduanya itulah kerap lahir karya-karya seni rupa yang dibuat Dewo. Intensi berinteraksi dalam tiga tahun terakhir itulah yang dipamerkan dalam “Ngunda Rasa”.
“Ini semacam nguntapke rasa untuk memberikan semangat pada anak kedua saya yang memilih untuk belajar seni tradisi Bali kepada Kakeknya, Pamannya, saudara-saudara, dan teman-temannya di sana. Kalau itu sudah menjadi tekadnya, biarlah dia berkembang secara alamiah di sana. Mendapatkan ekosistem yang pas sesuai niat awalnya.” jelas Dewa Made Mustika kepada Gudeg.net, Sabtu (8/6) malam.
Pengunjung mengamati karya (kiri ke kanan) ‘Spirit Kestaria Muda’, ‘Perjalan Ke Timur’, ‘Lata Mahosadhi’. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Setelah menunggu sejak kelas 2 SD, akhirnya keinginan tersebut segera terwujud saat anak keduanya saat ini sudah duduk di bangku kelas 6 SD.
“Sebenarnya Ibu-Bapaknya yang berat ha ha ha..., tapi bagaimana lagi itu sudah menjadi keinginannya sejak lama. Sebulan dua nanti kita yang akan rutin mengunjungi dia.” Imbuh Dewo.
Dalam pameran “Ngunda Rasa” Dewo mempresentasikan karyanya tiga tahun terakhir berupa 10 lukisan dalam ukuran sedang-besar, 2 sketsa series merekam aktivitas berkesenian anak keduanya, dua sketsa series sebagai respons atas aktivitas berkesenian anak keduanya, serta satu karya tiga matra.
Sebagaimana karya-karya Dewo terdahulu, karya “Ngunda Rasa” didominasi dengan citraan brush stroke (sapuan kuas) atau di kalangan seniman dikenal dengan jebret art.
Berbeda dengan pameran tunggal sebelumnya dimana Dewo banyak mengeksplorasi legenda lokal Bali semisal Tantri, Raja Kodok, Calonarang, Mahabrata, dikombinasi dengan kebudayaan Tiongkok seperti Legenda Samkok (Kisah Tiga Raja), Siluman Ular Putih, Pendekar Rajawali, Filsafat Shio, kisah heroik sang kera sakti Sun Go Kong, Legenda Delapan Dewa hingga Sampeek Engtay. Dalam pameran “Ngunda Rasa” Dewo hanya mempresentasikan satu lukisan yang bercerita tentang legenda-epos dalam karya berjudul ‘Arjuna Tanding’ yang diambil dari pertempuran Arjuna melawan kakak sekaligus ‘guru’-nya Karna dalam sekuel Bharata Yuda.
Selebihnya Dewo lebih banyak menggunakan objek-figur khasnya sebagai simbol penyemangat semisal “Gema Irama Saron”, “Obsesi Bangkal Tua”, “Transition Balance”, “Perjalanan Ke Timur”, “Spirit Ksatria Muda”, “Jaga Irama”, “Natural Talent”, dan juga “Lata Mahosadhi”.
Leader of Harmony – mixed media – ukuran 1:1 – Dewa Made Mustika – 2024. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi).
Antropolog Kris Budiman dalam catatan pengantar pameran menuliskan bahwa pada dasarnya pameran “Ngunda Rasa” dilatari oleh latar-hubung antara Dewa Mustika dengan anak keduanya yang memiliki ketertarikan sama dalam berkesenian.
Ketika menyaksikan anak keduanya menari atau bermain karawitan, Dewa Mustika seperti mendapatkan energi untuk melukis. Saat Dewa Mustika melukis, anak keduanya merespons dan menemaninya dengan megamel (memainkan alat musik tradisional Bali). Sebagai partner kreatif, keduanya saling berinteraksi dan memberi inspirasi, sehingga muncul gagasan untuk merealisasikan ke dalam sebuah pameran yang mewakili konsep “gerak, nada, dan rupa”.
“Pameran ini, di satu sisi, dilatari ketertarikan seni yang sama di antara Dewa Mustika dan anak keduanya. Kesamaan frekuensi menjadikan sang ayah dan anakya dapat saling merespons dan menginspirasi. Bisa dikatakan bahwa dia adalah partner kerja bagi Dewa Mustika dalam berkesenian, baik melukis, menari, maupun bermain karawitan.” papar Kris Budiman,
Bahkan pada karya lukisan “Kesan tentang Sahabat” dalam sebuah keintiman saling berinteraksi Dewo memosisikan anak keduanya bukan sebagai anak ataupun murid, namun sebagai sahabat yang bisa saling berbagi, saling memberikan inspirasi-semangat, dan saling mengisi. “Ngunda Rasa” menjadi ungkapan nguntapke sahabat yang akan belajar tentang kehidupan sebagai jalan pilihannya dalam sebuah keriangan dan jauh dari rasa murung apalagi kesedihan.
Selamat menempuh laku belajar berkesenian, Sahabat.
Kirim Komentar