Gudeg.net – “Indonesian Eye itu semacam buku direktori yang memuat daftar seniman-perupa kontemporer dari Indonesia. Dibuat oleh penerbit dari Italia. Itu projek lama, tahun 2010-an. Kebetulan karya saya dipilih untuk cover buku untuk distribusi Eropa-Amerika. Untuk distribusi wilayah lain covernya berbeda.” jelas Pupuk Daru Purnomo dalam sebuah perbincangan di studionya, Rabu (18/10/2023) siang.
Sambil menunjukkan sebuah buku bersampul merah dengan tulisan ‘Indonesian Eye. Contemporary Indonesian Art’, siang itu Pupuk DP mengajak ngobrol di rumah yang sekaligus menjadi studionya tentang persiapan pameran tunggalnya yang akan digelar tahun 2024 bertepatan dengan ulang tahunnya yang keenam puluh.
“Konsep pamerannya saya rancang-siapkan sendiri termasuk pemilihan karya. Rencananya beberapa karya yang saya buat dan koleksi sendiri akan saya presentasikan. Tidak semua. Hanya karya yang menurut saya penting dalam perjalanan berkesenian saya.” jelas Pupuk kala itu.
Setelah menghelat pameran tunggalnya yang kesembilan belas bertajuk ‘Phantasmatic Painting’ Desember tahun lalu di Bandung, Juni 2024 Pupuk menggelar pameran tunggalnya yang kedua puluh di Jogja Gallery.
‘Ohh Apiku’ (bawah/2 panel) – cat minyak di atas kanvas - 212 cm x 334 cm – 2013 – Pupuk DP. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pameran bertajuk ‘DOXA: Pupuk DP 60 Tahun’ dibuka secara mendadak dengan mengundang bersama-sama lima dosen yang mengajar Pupuk saat duduk di Jurusan Seni Rupa ISI Yogyakarta yakni M. Agus Burhan (Rektor ISI periode 2015-2019, 2019-2023), Edi Sunaryo, Agus Kamal Syatibi, Titus Libert, dan Suwarno Wisetrotomo.
“Sengaja saya tidak memberitahu beliau-beliau sebelumnya. Langsung saya todong saja saat pembukaan ha ha ha.... Ini sebagai penghormatan sekaligus penghargaan saya kepada beliau yang telah banyak memberikan pelajaran berharga dalam berkesenian saya.” jelas Pupuk kepada Gudeg.net di sela-sela pembukaan pameran, Minggu (16/6) malam.
Mewakili koleganya Agus Burhan menyampaikan apresiasi dan harapan-harapan atas upaya berkesenian Pupuk DP selama ini.
“Bersyukur pada usianya yang keenam puluh tahun ini merupakan momentum yang sangat bermakna (bagi Pupuk), untuk menandai puncak-puncak kreativitas yang bisa kita lihat (sebentar lagi), Menjadi kebanggaan bagi kami, Pupuk mampu meneguhkan diri dalam proses panjang dan luar biasa untuk menjadi seniman besar dengan berbagai makna yang menyertainya sehingga membuahkan makna yang lebih besar untuk kehidupan, nilai-nilai kemanusiaan, dan tentunya untuk kesenian yang terus dibangun Pupuk sejauh ini.” papar Agus Burhan dalam sambutan pembukaan pameran.
‘Happy Birthday, Sir’ (kiri), ‘Pesohor 1’ – cat minyak di atas kanvas – @ 230 cm x 167 cm – 2022 – Pupuk DP. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Menyimpan karya penting untuk diri sendiri
Memasuki lobby Jogja Gallery pengunjung langsung disambut 6 lukisan ‘Sudut Napoleon Bonaparte’ dan 1 karya patung perunggu berjudul ‘Setengah Hati’ serta lebih seratusan foto dokumentasi Pupuk DP yang kesemuanya dicetak ulang B/W. Suasana temaram yang langsung terasa saat pencahayaan foto dokumen maupun karya dalam mode spotlight.
Suasana temaram semakin terasa saat memasuki ruang pamer lantai dasar JG dimana dinding pajang karya dicat dengan warna gelap. Ini menjadi pemandangan baru dimana selama ini ruang pamer JG selalu didominasi warna putih.
“Saya memang memilih mengecat ulang dinding JG dengan warna gelap menyesuaikan karya yang akan dipresentasikan untuk membangun atmosfer, suasana, serta nuansa ruang senada dengan karya-karya yang dipresentasikan. Bahkan dalam karya instalasi ‘Sangkar’ untuk memunculkan suasana ruang penjara, dibuat ruang sendiri dengan setting ulang dinding JG yang bisa dibuka. Konsekuensinya nanti setelah selesai pameran dikembalikan seperti semula termasuk cat dindingnya.” jelas Pupuk.
Dalam setting warna yang gelap memberikan keleluasaan pada Pupuk untuk memajang karyanya bahkan dalam posisi saling berdampingan, sejajar, ataupun berseberangan secara diagonal. Bagaimanapun display karya di JG cukup berisiko mengingat karya yang dipresentasikan adalah ‘karya penting’ bagi Pupuk selama proses kreativitasnya. Dengan posisi ‘karya penting’ itulah, hingga saat ini karya-karya tersebut tetap disimpan dalam studionya dan menjadi koleksi pribadi yang tidak dijual.
“Saya menyebutnya ‘karya penting’, dan bukan dengan istilah karya kuat atau karya terbaik. Dalam setiap perjalanan saya kerap membuat sketsa ataupun drawing saat menunggu jadwal keberangkatan. Mediumnya bahkan bisa dalam bentuk kertas koran, blocknote hotel, ataupun kertas bekas lainnya. Sampai saat ini masih saya simpan. Dari karya-karya itulah lahir karya-karya dalam dimensi yang lebih besar.” jelas Pupuk.
Dalam sambutan pengantar pameran, kolektor karya seni Oei Hong Djien (OHD) menjelaskan bagaimana kedekatannya dengan Pupuk DP lebih pada relasi mitra dalam memberikan penilaian, memperbincangkan, atau pembandingan sebuah karya-karya dari seniman.
“Pupuk itu pecinta karyanya (sendiri). Tidak mudah melepas karyanya. Sejak dulu jika dia punya karya bagus dan ingin saya beli, pasti tidak boleh. Ada satu karya terbaik yaitu Stasiun (Tugu), untuk mendapatkannya saya harus menggunakan strategi yang njlimet. Karena tidak mau dijual. Tapi akhirnya malah diberikan. Ceritanya saat itu saya akan ke Amerika-Eropa bersama Nasirun dan Yuswantoro Adi, (Pupuk) bilang ‘om Djien saya ikut ya. nanti saya bayar sendiri’. Saya iyakan. Pas pulang dia tanya, saya harus mengganti (biaya) berapa? Saya yang ndak mau. Akhirnya lukisan itu diberikan kepada saya, datang sendiri. Kalau nggak, mungkin masih menggantung di rumahnya,” jelas OHD saat memberikan sambutan pengantar pameran.
Pengunjung sedang mengamati karya ‘Lelaki Berkostum’. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Penjelasan OHD tersebut terkonfirmasi sebelumnya oleh Pupuk dalam perbincangan Oktober tahun lalu di studionya. Pupuk menceritakan dalam sebuah perjalanan dan sempat tinggal selama dua-tiga bulan di sebuah negara di Asia Tenggara dan berkarya di sana. Seluruh karya yang dibuatnya berjumlah sekitar dua puluhan dipamerkan oleh seorang kolektor dari Singapura. Seluruh karya sold out, namun ada satu karya yang tidak dijualnya dan dikoleksi sendiri sampai saat ini.
Dalam pameran ‘Doxa’ begitu memasuki lantai dasar ruang pamer JG, dengan warna dinding gelap dan pencahayaan spotlight meminimalisir risiko ‘berebut pandang’ sehingga setiap karya mendapatkan ruangnya sendiri-sendiri mesikpun dipajang dalam jarak yang cukup dekat dengan karya sebelahnya.
Satu hal menarik yang mungkin lepas dari pencermatan pengunjung adalah sebuah lukiisan yang dipajang di sebelah pintu masuk ruang pamer dalam medium cat minyak di atas kanvas berukuran 85 cm x 130 cm dibuat pada tahun 2019. Karya berjudul ‘Introspeksi’ seolah menjadi ajakan bagi pengunjung sekaligus pintu pembuka bagi Pupuk DP memasuki usianya yang keenam puluh.
Presentasi sebagai media edukasi
“Ruangan di lantai atas saya setting menjadi sebuah studio untuk berkarya seperti studio saya. Kira-kira begitulah saat saya melukis di studio. Bisa santai sambil lesehan. Di ruang itu bisa digunakan pengunjung untuk rekreasi.” jelas Pupuk.
Jika Anda jeli mengamati di lorong selatan lantai atas JG terpajang lima sketsa-drawing Pupuk sementara di lorong utara dipajang sejumlah enam karya senada. Beberapa karya berukuran kecil tersebut menjadi inspirasi lahirnya karya lukisan, tiga matra, dan instalasi dalam ukuran yang lebih besar.
Begitu naik tangga JG Anda akan disambut dengan lukisan dalam medium cat minyak di atas kanvas berjudul ‘Salah Sambung’.
Diakui Pupuk karya tersebut berangkat dari karya drawing dengan judul yang sama dalam medium pastel di atas kertas berukuran 33 cm x 48 cm yang dipajang tidak jauh dari lukisan tersebut.
Begitupun pada karya lukisan dan instalasi berjudul ‘Sang Pesohor 4’ dalam medium cat minyak di atas linen berukuran 230 cm x 167 cm yang dikembangkan Pupuk dari karya sketsa berjudul ‘Lelaki dan Piyama’ dalam medium arang/charcoal di atas kertas berukuran 47 cm x 32 cm.
Lukisan berjudul ‘Sang Pesohor 3’ dalam medium cat minyak di atas linen berukuran 230 cm x 167 cm dikembangkan dari dua karya sketsa dalam medium arang/charcoal di atas kertas berukuran 48 cm x 33 cm berjudul ‘Studi Mawar Hitam’ dan ‘Mawar Hitam’.
Ruangan di lantai atas JG yang di-setting menjadi instalasi sebuah studio pun berangkat dari karya drawing pastel di atas selembar kertas berukuran 33 cm x 48 cm berjudul ‘Studioku’.
“Saya sertakan karya sketsa-drawing di lorong lantai atas JG untuk memberikan gambaran kepada pengunjung bagaimana sebuah karya dihasilkan. Ada tahapan-tahapan prosesnya dan tidak tiba-tiba menjadi sebuah karya (berukuran) besar. Semoga itu bisa menjadi media edukasi bagi publik.” jelas Pupuk.
Upaya demikian pernah diperkenalkan Pupuk saat pameran bersama di JG, Maret 2021. Dalam pameran bersama bertajuk “Tahta Untuk Rakyat” ketika itu Pupuk membuat lukisan potret Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam citraan hitam-putih dilengkapi dengan dua sketsa/drawing berukuran lebih kecil sebagai penjelasan karya awalnya. Ketiga karya tersebut dipajang berdampingan untuk memberikan narasi kepada publik tentang proses kreatif hingga tercipta karya akhir.
Di kalangan seniman-perupa, yang demikian sudah menjadi hal yang biasa. Setidaknya bagi seniman itu merupakan catatan-catatan proses kreatif hingga lahir sebuah karya seni. Namun bagi masyarakat awam, hal tersebut bisa jadi merupakan pengetahuan baru yang bisa didapatkan dari perhelatan sebuah pameran seni.
Pola kerja kreatif demikian mengingatkan pada pameran tunggal Pupuk DP bertajuk “Infinity” yang digelar pada Juli 2019. Ketika itu Pupuk mempresentasikan karya sketsa-drawing berukuran tidak terlalu besar dan menjadi semacam karya master bagi karya-karya Pupuk berikutnya dan belum pernah dipamerkan. Semacam skets awal namun dalam bentuk karya lukisan yang sudah selesai serta menjadi sumber ide-inspirasi bagi karya-karya berikutnya.
Lukisan berjudul ‘The Musician’ karya Pupuk DP dalam pameran tunggal bertajuk ‘DOXA: Pupuk DP 60 Tahun’ di Jogja Gallery. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Retrospeksi sebagai wujud sebuah pencapaian
“Dinding warna gelap serta pencahayaan yang temaram saya maksudkan untuk keperluan display karya. Suasana yang hening, beberapa kawan menyebut suasananya horor ha ha ha. Memang konsepnya saya persiapkan begitu. Untuk menikmati karya (yang dipamerkan), yang terbaik adalah dalam suasana pengunjung yang tidak terlalu ramai.” jelas Pupuk.
Begitu masuk ke ruang pamer lantai dasar JG, pengunjung akan diprovokasi dengan karya yang riuh dan crowded sekaligus meminta mata. Karya instalasi ‘Sangkar’ tentu akan langsung menyita pandangan mereka untuk mendekat sesaat memasuki ruang pamer : sebuah ruang keluarga dengan tujuh figur manusia memenuhi ruangan yang tidak terlalu luas, satu figur mengenakan pakaian seragam narapidana. Satu figur patung berjaga di luar ruangan. Dan ruangan itu berterali besi. Penjara atau lebih tepatnya terpenjara, kira-kira begitulah narasi dari karya ‘Sangkar’.
Persis di kiri-kanan tidak jauh dari ‘Sangkar’, dipajang dua karya lukisan dalam ukuran besar berjudul ‘Pesohor 4’ dan ‘Lelaki Berkostum’. Kesatuan karya tersebut menjadi pembuka untuk karya-karya lainnya. Saat akan mendekat pada tiga karya tersebut ujung mata pengunjung akan digoda karya-karya lain yang meminta dihampiri : ‘Mawar Hitam’, ‘Like Father Like Sons’, ‘Only Time Will Tell’, ‘Hide & Seeks series’ yang akan membawa pada karya-karya lainnya.
Pada sebuah ruang di ujung lantai dasar JG menjadi ruang presentasi bagaimana Pupuk mengintimi dirinya dalam kesunyian berangkat dari berbagai trauma maupun peristiwa penting yang dialaminya. Enam karya instalasi yang ‘dibekukan’ dalam lemari kaca ‘Imaji Sensual’, ‘Kematian’, ‘Potret Diri : Bagai Vampir’, ‘Sampai Maut Memisahkan’, ‘Potret Diri di Studio’ dalam ruang berdinding hitam pekat minim cahaya berdampingan dengan karya lukisan ‘Aborsi’, ‘Chaos’, ‘Last Man Standing’, ‘Sang Kaisar’, ‘Masker’, ‘Pengantin’ seakan Pupuk sedang berbagi kesunyian-kesunyian lainnya.
“Salah satu luarannya nanti setelah pameran saya terbitkan menjadi sebuah buku yang saya siapkan sendiri, termasuk nantinya saya akan menulis sendiri. Nantinya ada beberapa tulisan dari kolega bagaimana pandangan mereka terhadap berkesenian saya. Sejauh ini Jim Supangkat (kurator) sudah berkenan menyiapkan tulisannya. Penulis lainnya nanti sambil jalan mempersiapkan pameran saja.” jelas Pupuk saat perbincangan Rabu (18/10/2023) siang.
Mengamati secara keseluruhan ‘DOXA: Pupuk DP 60 Tahun’ menjadi presentasi retrospeksi meskipun Pupuk tidak menghadirkan trajektori lini masa secara langsung pada pameran tunggalnya tersebut. Setidaknya sebanyak 118 foto retro dokumentasi Pupuk yang terpajang di lobby Jogja Gallery menjadi gambaran bagaimana perjalanan Pupuk dalam berseni rupa sekaligus mengarsipkannya secara disiplin.
Narasi yang terbangun dari “Doxa” sesungguhnya Pupuk sedang membicarakan dan mengintimi dirinya sendiri. ‘Karya penting’ sebagaimana kerap dikatakan Pupuk menjadi kata kunci dari presentasi retrospeksi. Tanpa penyebutan tahun, ‘karya penting’ tersebut menjadi penanda periodisasi tertentu perjalanan berkesenian Pupuk. Setiap karya memiliki dindingnya sendiri berikut keriuhan atapun kesunyian yang menyertainya tanpa berusaha untuk saling berebut mata.
Merayakan ulang tahun keenam puluh dengan menggelar pameran tunggal yang mempresentasikan karya-karya pentingnya sesungguhnya bukan sekedar sebuah perayaan semata manakala Pupuk menyiapkan untuk terbitnya sebuah buku yang dia tulis sendiri. Diluar kekaryaan, ini menjadi sebuah pencapaian lain dari Pupuk DP kaitannya dengan sumber literasi seni rupa yang ditulis dan disiapkan oleh senimannya sendiri.
Beruntung Pupuk bisa memberikan sentuhan langsung pada buku yang akan diterbitkan setelah selesai pameran. Ini menjadi legacy penting bagi dunia seni rupa Indonesia di tengah kekosongan sumber-sumber literasi yang bersumber langsung dari senimannya. Sebagaimana sebuah quote yang dituliskan Pupuk di dinding ruang pamer Jogja Gallery : “Jangan hanya menjadi kebisingan yang tidak jelas. Dengan merenung, saya menjadi lebih sadar akan masalah dan diri saya. Konflik yang mendorong emosi saya yang lebih menunjukkan pemikiran saya ketimbang tingkah ekspresif dalam lukisan. Dan setelah setiap lukisan potret itu selesai, pelepasan emosi pun berakhir. Ideologi ini menjadi fana.”
Pameran tunggal Pupuk DP bertajuk ‘DOXA: Pupuk DP 60 Tahun’ berlangsung hingga 10 Juli 2024 di Jogja Gallery Jalan Pekapalan No. 7 Yogyakarta.
Kirim Komentar