Seni & Budaya

“Piweling”. Gamelan sebagai Jembatan Kenangan dan Ingatan

Oleh : Moh. Jauhar al-Hakimi / Jumat, 16 Agustus 2024 15:02
“Piweling”. Gamelan sebagai Jembatan Kenangan dan Ingatan
Penampilan Komunitas Gayam 16 dengan Gameltron 2.0 saat Konser Gamelan YGF #29 di Plasa Pasar Ngasem, Kamis (8/8) malam. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Gudeg.net -  “Generasi muda saat ini lebih sadar tentang kebudayaan –tidak hanya gamelan-. Ambil contoh kebaya, hari ini mereka sadar dengan mengenakannya pada momen-momen tertentu, memotret untuk kemudian disebarkan pada media sosial. Apapun narasinya, dari cara berpakaian saja yang masih menggunakan kain-kebaya untuk ke acara festival dan sejenisnya, saya pikir kesadaran akan kebudayaan generasi muda lebih maju dibanding yang dialami generasi saya.” jelas Ishari Sahida, Senin (29/7) sore saat jumpa media Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) #29.

Berangkat dari realitas tersebut YGF #29 mengangkat tema “Piweling” untuk mencoba terhubung kembali dengan asal-usul alami manusia, menumbuhkan rasa syukur, kebersamaan, dan pertumbuhan. FGY mencoba menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, melestarikan warisan-warisan budaya sambil merangkul kemungkinan-kemungkinan baru.

Ishari Sahida atau dikenal dengan Ari Wulu selaku Program Director YGF menjelaskan dalam penyelenggaraan yang ke-29 sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 diharapkan masyarakat bersama pemerintah pusat maupun pemerintah daerah DIY dapat semakin memberikan perhatiannya dengan kegiatan-kegiatan pelestarian maupun pengembangan kepada para insan musik gamelan.

Dengan begitu diharapkan akan muncul ide-ide baru ataupun konsep baru yang fresh, sehingga menjadikan YGF pada tahun-tahun mendatang semakin menarik untuk disaksikan dan dinikmati

“Pilihannya adalah YGF menggelar rangkaian program-kegiatan yang berlangsung 5-10 Agustus 2024 di beberapa tempat di wilayah Yogyakarta dengan terus mencari inovasi-kemungkinan baru sebagai bentuk pengembangan YGF dari tahun ke tahun.” imbuh Ari.

Lokakarya YGF #29 di Pendopo Gayam 16. (Foto : Official doc. YGF).

Lokakarya-Rembug Budaya, ruang dialog  dan berbagi

Rangkaian kegiatan YGF ke-29 ini diawali dengan lokakarya yang berlangsung di Pendopo Gayam16 pada tanggal 5 -7 Agustus 2024, dengan tema yang digunakan adalah Sariswara Ki Hadjar Dewantara dalam proses pembelajarannya. Sariswara dipilih karena merupakan metode yang telah lama dikembangkan dan efektif dalam proses pembelajaran seni, khususnya gamelan.

Lokakarya dipandu oleh Listyo Hari Krisnarjo (pengelola laboratorium Sariswara dan Taman Kesenian Taman Siswa) menjelaskan tentang metode sariswara dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari serta dalam pendidikan.

Sariswara merupakan metode mendidik yang dikembangkan Ki Hadjar Dewantara melalui kesenian untuk membiasakan segala keindahan dan kehalusan dengan menggabungkan pengalaman semua indra yang ada, baik melalui pendengaran, penglihatan, gerakan fisik, dan juga perasaan (cipta-rasa-karsa). Materi lokakarya meliputi 2 gendhing klasik yang kemudian dipentaskan pada konser gamelan YGF #29 hari kedua.

Mengangkat tema “Arsip Musik Sebagai Warisan”, Rembug Budaya dihelat pada Selasa (6/8) siang menghadirkan Hilman (Jogja Sonic Index) Jody Diamond (American Gamelan Institute/SUNY New Paltz), serta Danang Rusdy (Lokananta). Program Rembug Budaya memperbincangkan tentang pengelolaan arsip musik sebagai upaya mengembangkan semangat-semangat masa lalu sebagai bekal masa depan, diawali dengan perbincangan mengenai arsip serta bentuknya yang tujuannya adalah mengolah bahan seperti transkrip wawancara, text, audio, dan video yang harapannya produk tersebut diolah agar lebih mudah dibaca, dipahami dan dimanfaatkan.

“Saya mulai menemukan ketertarikan terhadap arsip yang mengantarkan saya ke ruangan piringan hitam Lokananta, yang saya anggap itu hanya berisi gending gending jawa, gending dolanan ada gamelan degung ada Pangkur Jenggleng Basiyo yang waktu kecil saya dengarkan, disitu saya terbayangkan kerja pengarsipan bisa dilakukan dari Lokananta”. jelas Danang.

Jody Diamond (American Gamelan Institute) menceritakan awal ketertarikannya memainkan gamelan sejak tahun 1970, dan memutuskan selama hidup akan belajar dan bermain gamelan.

“Ketertarikan saya mengarsip gamelan karena saya melihat pola mengapa karya-karya musik komponis dari Indonesia tidak ada nama orang yang andil dalam komposisi musik itu dan arsip mengenai gamelan sedikit sekali yang saya temukan pada saat itu.” Jelas Jody.

Sebagai catatan tambahan, arsip merupakan dokumentasi sesuatu yang penting, seperti orang yang memiliki peran penting tentang sesuatu hal yang bisa dipelajari lagi ilmunya sebelum orang itu meninggal. Kewajiban moral pengarsip adalah mempublish data arsip sebagai ilmu yang terbuka dan mudah diakses oleh siapapun dan mengembalikannya ke pemilik asli arsip itu sendiri. Arsip adalah warisan kebudayaan.

Rembug Budaya YGF #29, Selasa (6/8) siang. (Foto : Official doc. YGF).

Konser Gamelan, presentasi dan ruang ekspresi

Selama tiga malam (8-10/8) Plaza Pasar Ngasem menjadi panggung bagi 14 kelompok gamelan-karawitan dari Yogyakarta maupun luar Yogyakarta bahkan mancanegara dengan keterlibatan anak-anak dan remaja. Pada Kamis (8/8) malam Komunitas Gayam 16 membuka panggung Konser Gamelan YGF #29 dilanjutkan berturut-turut Adhikarilaras, Kanasia, Sariswara Taman Kesenian Taman Siswa, serta Kecubung Sakti.

Komunitas Gayam 16 membuka Konser Gamelan YGF #29 dengan 4 komposisi karya Ladrang Sri Slamet, Ladrang Ayun-ayun-Lir ilir-Suwe ora Jamu, Ladrang Pangkur-Sluku-sluku Bathok, serta Lancaran Kuwi Apa Kuwi. Menariknya dalam perform tersebut Komunitas Gayam 16 menggunakan gamelan elektronik hasil riset tim Dept. Teknik Elektro dan Teknologi Informasi/DTETI-Fakultas Teknik UGM.

“Gamelan ini terinspirasi dari pendahulu kami Prof. Adhi Susanto. Gamelan elektronik atau Gameltron 2.0 ini dibuat dari kayu yang kita pasang sensor dan pengolah frekuensi elektronik dilanjutkan ke modul suara untuk kemudian suara tersebut diteruskan ke sound system.” jelas Ketua Tim DTETI untuk Gameltron 2.0 Addin Suwastono, Kamis (8/8) malam.

Berbeda dengan Gameltron generasi sebelumnya, Gameltron 2.0 dibuat menyerupai gamelan aslinya baik dari bentuk dan ukuran, hanya saja bahannya yang berbeda. Bahan untuk rancangan Gameltron 2.0 sementara dibuat dengan rotan terlebih dahulu, tetapi tidak menutup kemungkinan dibuat lagi dengan bahan lain, tentu dengan biaya produksi yang tetap murah.

Keputusan tersebut diambil dari keresahan Addin dan tim terhadap penelitian-penelitian mengenai gamelan elektronik dimana banyak inovasi gamelan elektronik yang sayangnya justru mengubah bentuk gamelan asli. Misalnya menjadi menyerupai tablet atau bentuk lain. Cara mainnya pun juga berbeda dengan memencet tombol pada gawai tersebut.

“Ciri khas dari Gameltron 2.0 adalah dimainkan dengan cara tetap ditabuh dan dengan posisi duduk seperti memainkan gamelan asli. Kami tetap ingin mempertahankan pengalaman bermain gamelan. Bukan ingin mendisrupsinya, namun menghasilkan alat yang bisa dimainkan sebagaimana gamelan pada umumnya.” jelas Addin.

Addin menambahkan dengan peralatan ini jika dilengkapi dengan tools aplikasi di komputer yang dilengkapi dengan partitur gendhing, ini bisa kita mainkan sendiri.

“Selain itu bisa menjadi preservasi budaya. Suara yang ditampilkan pada gamelan elektronik ini sumbernya dari gamelan Kyai Suherjan. Alat ini bisa diisi juga dengan sample sound dari gamelan lainnya, dari Keraton misalnya sehingga kita bisa berlatih memainkan dan merasakan nuansa dari gamelan Keraton.” jelas Addin.

Lebih lanjut Addin menuturkan instrumen Gong  dalam Gameltron 2.0 dari kap lampu, sementara Bonang dibuat dari 3-D printing, Saron (demung, saron, saron penerus) dari kayu, pangkon dari besi las. Slenthem menggunakan bodi saron. Satu instrumen (Saron) setara dengan enam ricikan yang bisa digunakan menjadi demung, saron, saron penerus dalam Laras Slendro maupun Pelog karena dilengkapi dengan switcher dihubungkan pada sound module untuk menghasilkan frekuensi suara sesuai yang diinginkan untuk kemudian dikirimkan ke sound system. Dengan sistem instrumen tersebut, peralatan gamelan tersebut bisa diadakan dalam biaya yang lebih terjangkau dibanding perangkat gamelan asli.

“Ini merupakan apresiasi YGF kepada teman-teman DTETI-UGM. Ini bisa digunakan sebagai salah satu metode pembelajaran. Dengan peralatan (gamelan elektronik) ini, gamelan bisa masuk dalam ruang-ruang pribadi. Jadi tidak ada alasan tidak bisa belajar gamelan karena keterbatasan gamelan. Satu hal yang harus diingat ketika gamelan elektronik masuk ke ruang pribadi adalah mengenali dan mengerti tentang gamelan terlebih dahulu. Gamelan elektronik itu sebagai alat bantu. Spirit tentang mengalami langsung gamelan itu yang harus dipahami terlebih dahulu, misalnya bagaimana cara tabuhe dan seterusnya. Karenanya kami juga mengembangkan tiap pilahan treatment memainkannya sebagaimana memainkan gamelan sebenarnya ditabuh dan dipathet. Itu yang masih terus kita kembangkan bersama.” jelas Ari Wulu.

Kanasia (Kolaborasi Rekanan Musisi dari Kanada dan Indonesia) dengan jumlah anggota pemain 25 orang menawarkan perform yang menarik melalui proses kreatif mereka. Bermula sejak pandemi Covid 19, banyak kegiatan seni budaya di seluruh penjuru dunia mengalami kemacetan. Tidak terkecuali di Kanada dan Amerika kegiatan belajar mengajar gamelan lumpuh total. Tahun lalu ada beberapa musisi yang pernah pentas di Kanada sempat berkolaborasi dengan grup Gamelan Sawung Galing dan rupanya telah menjadi embrio tumbuhnya semangat untuk berkarya dan pentas bersama di YGF 2024. Jody Diamond (Director American Gamelan Institute USA) menyambut baik kegiatan rekanan tersebut. Kanasia selain menjadi ruang edukasi sekaligus menjadi media perekat banyak bangsa di belahan dunia.

Generasi muda yang tergabung dalam Kecubung Sakti dalam Konser Gamelan YGF #29 membawakan komposisi dengan instrumen Gambang Semarang bertemakan Kota Semarang  yakni Dugderan Semarang, Gambang Semarang, Semarangan, Jangkring Genggong, dan Lenggang Kangkung.

Sebagai ruang ekspresi, anak-anak dan remaja turut tampil dalam Konser Gamelan YGF #29 diantaranya Adhikarilaras (Bantul), Sanggar Madya Wijaya Kusuma, Sanggar Kawindra (Kediri), sementara dari mancanegara tampil Compagnie Kotekan (Prancis).

Kelompok Meruang Waktu yang telah vakum sekira 12 tahunan memanfaatkan Konser Gamelan #29 sebagai ruang presentasi atas eksperimen mereka dalam tiga bulan terakhir. Hal yang sama dilakukan pula oleh Harry Roesli Music School yang menampilkan lima komposisi salah satunya berjudul ‘Kebo Jiro’.

Eksperimen menarik dipresentasikan kelompok Sekar Seroja yang terdiri dari mahasiswa Ethnomusikologi ISI Yogyakarta menggabungkan instrumen gamelan dengan instrumen modern dengan mengeksplorasi tiga lagu daerah Ayam Den Lapeh (Minang), Grajagan Banyuwangi, dan Seroja (Melayu) dalam irama keroncong dan pop-progressive.

Penampilan Harry Roesli Music School (Bandung) saat Konser Gamelan YGF #29 di Plasa Pasar Ngasem, Sabtu (10/8) malam. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

“Piweling”, menggemakan gamelan dalam relasi antarmanusia yang bermartabat.

Sebagai puncak rangkaian acara yang sekaligus upacara penutupan YGF #29 mempersembahkan Gaung Gamelan di Stadion Kridosono, Minggu (11/8). Pertunjukan gamelan yang dimainkan oleh ratusan pemain gamelan secara bersamaan yang tergabung dalam kelompok karawitan dari 14 Desa Budaya binaan Kundha Kabudayan Pemda DIY dan kelompok gamelan komunitas antara lain Kyai Kanjeng, AKNSB (Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya), Gendhing Bahana UAD dan Karawitan Putri Bantul.

Gaung Gamelan memainkan empat gendhing klasik gaya Yogyakarta yang telah dibagikan sebulan sebelumnya, serta disebarkan melalui berbagai media dengan tujuan agar dapat dipelajari (dibaca) oleh masyarakat luas sebagai pengetahuan atau dapat dipakai untuk berpartisipasi dalam program tersebut. Dua lancaran yang dimainkan diawal adalah Lancaran Desa Budaya dan Lancaran Kuwi Apa Kuwi.

Gaung Gamelan ditutup dengan performance dari Saron Groove (Gayam16-Yogyakarta), Drummer Guyub Yogyakarta (Yogyakarta), Anteng Kitiran (Yogyakarta), Sanggar Sritanjung (Banyuwangi).

===

Ada hal menarik dalam pembacaan tema YGF #29 “Piweling” sebagai sebuah pesan antargenerasi. Empat puluh tujuh tahun silam tepatnya 5 September 1977 saat NASA meluncurkan wahana antariksa nirawak Voyager 1 dalam sebuah misi mustahil pencarian kemungkinan kehidupan di luar bumi, “Voyager 1” selain dilengkapi dengan alat pemancar yang akan mengirimkan informasi ke bumi juga disertai dengan rekaman phonograph yang dikirim ke angkasa luar bersama dengan wahana luar angkasa tersebut dalam bentuk Voyager Golden Records.

“This is a present from a small distant world, a token of our sounds, our science, our images, our music, our thoughts, and our feelings. We are attempting to survive our time so we may live into yours. We hope someday, having solved the problems we face, to join a community of galactic civilizations. This record represents our hope and our determination, and our good will in a vast and awesome universe.”

July 29, 1977 - ?President Jimmy Carter –

Kutipan pidato Presiden AS Jimmy Carter tersebut merupakan salah satu pidato yang bersejarah dalam konteks harapan, imaji, dan keinginan liar manusia untuk bertemu, atau bahkan sekedar berinteraksi dengan sahabat dari planet lain.

Konten rekaman tersebut selain pidato dari Jimmy Carter, yang saat itu menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, berisi pula pidato dari Sekjen Persatuan Bangsa-Bangsa saat itu Kurt Waldheim, kalimat salam sapaan dalam 55 bahasa, suara-suara alam, seperti suara ombak, angin, petir, serta suara-suara binatang, termasuk kicauan burung dan suara dari ikan paus, serta 90 menit berisi musik-musik yang dianggap mewakili bumi, dari berbagai budaya.

Penampilan kelompok gamelan remaja Adhikarilaras (Bantul) saat Konser Gamelan YGF #29 di Plasa Pasar Ngasem. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)

Kawasan Nusantara yang memiliki tempat khusus dalam khasanah musik tradisional, menempatkan satu komposisi sebagai duta Indonesia di mata semesta, yaitu komposisi Ketawang Puspawarna Laras Slendro Pathet Manyura.

Syair dan lirik Ketawang Puspawarna Laras Slendro Pathet Manyura merupakan gubah-cipta KGPAA Mangkunegara IV bercerita mengenai berbagai jenis bunga yang melambangkan beragam suasana, rasa, atau nuansa yang dimainkan sebagai tanda kedatangan pangeran maupun untuk mengiringi tarian. Komposisi Puspawarna berjenis kendhangan (ritme) Ketawang yang dapat dilagukan dalam laras slendro maupun pelog. Ketawang Puspawarna terdiri dari tujuh cakepan (bait) gerongan (lirik lagu). Berbeda dengan komposisi gendhing Jawa pada umumnya, Ketawang Puspawarna hanya membutuhkan waktu lima menit untuk melantunkan setiap cakepan gerongan.

Ketawang Puspawarna Laras Slendro Pathet Manyura yang masuk dalam kompilasi Voyager Golden Records diaransemen ulang oleh KPH Notoprodjo dengan gamelan dari Kadipaten Pakualaman. Notoprodjo dikenal pula dengan nama Tjokrowasito, atau Wasitodipuro, yang dikenal sebagai salah satu Empu Karawitan terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.

Dalam misi tersebut komponis Amerika Serikat Lou Harisson mengusulkan agar nama Tjokrowasito menjadi nama salah satu bintang di angkasa. Kedekatan Lou Harisson dengan Tjokrowasito berawal dari perkenalan mereka pada tahun 1975 di Center of World Music di Berkeley. Harrison belajar pada Tjokrowasito dan menghasilkan beberapa karya yang bereksperimen dengan konsep, sistem gamelan, atau struktur tembang-tembang Jawa seperti Concerto in Slendro (1961), La Karo Sutro (1972), dan Main Bersama-sama (1978).

Kelompok Karawitaan Desa Binaan Kundha Kabudayan (Disbud) Pemda DIY saat tampil pada Gaung Gamelan YGF #29 di Stadion Kridosono, Minggu (11/8). (Foto : Official doc. YGF).

Pada 12 April 1983, sertifikat internasional Star Registry diberikan kepada Tjokrowasito. Letak persisnya di Andromeda Ra 23 h 35 mm 54 sd 43× 48×. Bintang tersebut dinamai Wasitodiningrat (nama saat Tjokrowasito dianugerahi gelar Kanjeng Raden Tumenggung oleh Pakualaman. Nama bintang baru itu kini tercatat di Library of Congress, Amerika Serikat.

Setelah beberapa lama kehilangan kontak, pada 15 Juni 2024 Voyager 1 kontak kembali dengan bumi. Dengan kecepatan rata-rata 61.000 kilometer/jam, objek tersebut berada di ruang antarbintang yang jauhnya 24 miliar km dari bumi dan terus akan melanglangbuana.

Dalam jarak tersebut dan akan terus bertambah, digerakkan dengan tenaga nuklir, Voyager 1 diharapkan mampu mengirim data ke bumi sampai tahun 2025 sebelum pasokan listriknya habis. Akankah Ketawang Puspawarna bersama Voyager Golden Records ditemukan dan dikenang seluruh jagat, ataukah hanya akan menjadi sampah luar angkasa di antariksa yang masih antah berantah sampai hari ini bagi bumi?

Dalam konteks tersebut “Piweling” menemukan relevansinya kembali dalam lingkup yang lebih kecil untuk menggemakan gamelan dalam relasi antarmanusia yang bermartabat. Piweling sebagai kenangan sekaligus pengingat dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban manusia.


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    SOLORADIO 92,9 FM

    SOLORADIO 92,9 FM

    Soloradio 92,9 FM SOLO



    JOGJAFAMILY 100,2 FM

    JOGJAFAMILY 100,2 FM

    JogjaFamily 100,9 FM



    JIZ 89,5 FM

    JIZ 89,5 FM

    Jiz 89,5 FM


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini