Seni & Budaya

“Karimata 1890” dan “Lao Sam 1892”. Upaya Mengangkat Komik Nusantara ke Kancah Global.

Oleh : Moh. Jauhar al-Hakimi / Rabu, 28 Agustus 2024 12:05
“Karimata 1890” dan “Lao Sam 1892”. Upaya Mengangkat Komik Nusantara ke Kancah Global.
Presentasi karya komik bisu “Karimata 1890” dan “Lao Sam 1892” di Ruang Temu 7 Matra, 25 Agustus – 25 September 2024. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi).

Gudeg.net – Dua panil dari komik yang berbeda diaplikasikan pada jendela kaca Ruang Temu 7 Matra. Kedua panil komik tersebut diambil dari komik “Karimata 1890” dan “Lao Sam 1892” karya seniman komik Toni Masdiono.

Dengan pengaplikasian tersebut jendela kaca menjadi terhias sebuah karya seni sebagaimana kerap digunakan pada gedung-gedung perkantoran dengan stiker sandblasting, dalam saat bersamaan menjelma menjadi komik dalam ukuran besar manakala rangka alluminium jendela tersebut berubah menjadi bingkai antarpanil.

Kedua karya komik “Karimata 1890” dan “Lao Sam 1892” dipresentasikan di Ruang Temu 7 Matra, Candibinangun, Pakem-Sleman selama satu bulan, 25 Agustus – 25 September 2024.

Presentasi karya demikian pernah dilakukan oleh seniman grafis Moki Prihatmoko. Pada akhir Oktober 2017 Moki berangkat ke Brussel-Belgia mengikuti Europalia 2017. Seri mural "Prajurit Kalah Tanpa Raja" menghias dua sisi dinding perpustakaan kota Brussel yang terbuat dari kaca dengan panjang kurang lebih 2 x 30 meteran setinggi hampir 5 meter lengkap dengan bait terakhir aksara Jawa "Ma Ga Ba Tha Nga" yang kurang lebih bermakna semua gugur secara sia-sia.

Pengunjung sedang membaca komik “Karimata 1890” dengan latar belakang stiker sandblasting komik “Karimata 1890”. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi).

Pada FKY 2019, seniman Maryanto mempresentasikan karya drawing-nya di atas plastik mika berukuran 200 cm x 490 cm dan ditempelkan pada dinding kaca Museum Sonobudoyo pada pameran seni rupa Wirama, 8-16 Juli 2019.

Berbeda dengan komik pada umumnya, “Karimata 1890” dan “Lao Sam 1892” adalah komik tanpa narasi dan balon dialog atau dikenal dengan komik bisu (silent comic).

Dalam sambutan pembukaan presentasi karya Joko Kuntono selaku kurator menyebutkan jejak Toni Masdiono yang telah melampaui fase-fase seniman komik sebelumnya dengan memanfaatkan kelebihan komik klasik yang menggunakan pendekatan pas foto dalam ulang-alik format close-up, medium close-up, hyper close-up kemudian ditarik lebar menjadi establish sebagaimana kerap digunakan dalam komik Mangga, di sisi lain orientasi komik Toni adalah Marvel dan DC comics yang sangat erat kaitannya dengan perfilman Hollywood. Secara citraan kekaryaan, Joko menyebutkan karya Toni sangat filemis dimana mottion-nya tergarap dengan baik.

“Menariknya dari komik Toni (Masdiono) adalah penggunaan warna hitam-putihnya lebih mengacu pada nuansa hitam-putih komik dari Inggris dan Prancis. Lebih banyak hitamnya sehingga terkesan lebih pekat.” papar Joko Kuntono saat pembukaan acara, Minggu (25/8) sore.

“Karimata 1890” dan “Lao Sam 1892”. Ikhtiar menduniakan komik nusantara.

Komik bisu (silent comic) menyajikan kisah-cerita kepada publik melalui gerak berkelanjutan (sekuen) sebagaimana adegan film dalam layar lebar. Panil-panil komik seakan bergerak sebagaimana kerja kamera, kadang berputar ke atas, adakalanya panning. ataupun pull-out/perbesaran. Hal tersebut mensyaratkan seniman komik selaku kreatornya menguasai anatomi tubuh manusia (dan objek lainnya), perspektif ruang dan angle/sudut, serta kemampuan penerjemahan kisah ke dalam panil.

“Tiga tahun diskusi (dengan Toni Masdiono) hanya untuk mendapatkan jawaban ‘iya’  dan jawabannya selalu ‘tidak’. Hingga pada satu titik, tahun 2017 ketemu dan ngobrol ‘yuk pak kita kerjakan’ tapi saya mengajukan syarat yang sama ‘saya mau komik Indonesia yang tidak sekedar komik’.” jelas Lukman Sinara saat pembukaan acara, Minggu (25/8) sore.

Pengunjung sedang mengamati komik “Lao Sam 1892” karya Toni Masdiono. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi).

Lukman Sinara adalah pemilik Studio Sinten Yogyakarta. Sebagai comics enthusiast pertemuannya dengan Toni Masdiono sekira sepuluh tahunan lalu berlanjut dalam diskusi yang intens dalam berbagai pertemuan dengan keinginan yang sama untuk menghasilkan karya komik dari nusantara yang tidak ‘sekedar komik’ sehingga bisa berbicara di kancah dunia.

Lukman memberikan gambaran minimal standarnya adalah karya komik Tony Wong untuk bisa membawa Indonesia ke level internasional. Pertanyaannya adalah Komik Indonesia itu yang bagaimana?

“Bentuknya cerita bergambar/cergam atau apapun tidak masalah, tapi komik nusantara yang mau kita bawa itu seperti apa? Baru bicara lainnya semisal tokoh dan seterusnya.” jelas Lukman.

Dalam banyak hal Lukman mengakui tidak mau mendiktekan keinginannya kepada Toni. Perbincangan yang terjadi lebih banyak sharing ide-gagasan pada satu tema tertentu, sementara untuk visual kekaryaan Lukman menyerahkan sepenuhnya kepada Toni.

“Bring out the best in others, kira-kira begitu. Saya sampaikan pada Toni ‘Anda yang paling hebat, paling bagus pada bagian apa?’ Ketemulah karakter karya figur yang kuat : anatomi, gaya, ekspresi, dan seterusnya. Hingga simulasi angle/sudut pada objek yang sama bagaimana hasil dari imajinasi tersebut. Akhirnya kita ngomongin silat yang ada di nusantara, termasuk saat mengerjakan Lao Sam 1892.” papar Lukman.

Lukman menambahkan silat nusantara yang hendak diangkat –meskipun ada benang merahnya- gayanya bukan kungfu. Dengan jurus berbeda, gaya berbeda, senjata berbeda. Pada tahap lanjutan Karimata dan Lao Sam masuk ke level berikutnya lagi pada komik ketiga tentang Bali yang masih intensif diskusikan.

“Untuk yang ketiga ini kita maunya tidak berhenti pada kelas (kisah) Samkok, namun mulai mengarah pada yang disebut dynasty warriors agar komik ini nantinya tidak hanya (menyasar) pada generasi tua saja sebagai nostalgia namun juga bisa menarik pada generasi muda.” papar Lukman.

Lukman memberikan penjelasan di Taiwan ada puppet/wayang namanya Pili, yang sudah memperbincangkan tentang dynasty warriors dan berkembang pesat hingga saat ini.

Pengaplikasian stiker sandblasting pada jendela kaca diambil dari salah satu adegan komik “Lao Sam 1892”. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi).

“Ini yang ingin kita tuju karena sejak awal saat mengerjakan Karimata 1890 kita menetapkan target tidak hanya gambar atau komiknya saja, namun bagaimana bisa menjadi kisah yang bisa diangkat ke layar lebar. Effort-nya tentu berat, namun tetap kita kejar. Minggu ini kita coba bikin contoh custom yang kita gunakan untuk teaser, dan sudah dikirim ke salah satu produser di Amerika Serikat.” imbuh Lukman

Lao Sam 1892, dengan panil tanpa narasi dan balon kata publik dibawa dalam dua kata kunci Lao Sam (Lasem) sebagai sebuah tempat, dan peristiwa yang terjadi pada sekira tahun tersebut.

Diawali dengan memperkenalkan tokoh-tokoh pada komik tersebut yakni, Babah Lim, Inang, Wang The Tiger, Seruni, Ghita, Jahannam, Raden Panji Asmoro, Siauw Peng, Dulah, Bhan Teng, Babah Heng Lang dan Mat Codet, menjadi kelanjutan dari logi yang dibuat Toni sebelumnya ‘Karimata 1890’.

Inang, yang setelah pertempuran di Karimata menyembuhkan lukanya ke seorang dukun bernama Jahannam di lereng Gunung Muria, Kudus. Selain berobat, dia juga menjadi murid dan juga menjadi budak nafsu si dukun. Di malam yang sunyi ia mengakhiri nyawa si dukun dan dimulailah petualangan Inang menuju Lasem di Rembang.

Di Lasem itulah, perseteruan Geng Opium antara dua keturunan Tionghoa terjadi. Tanpa narasi dan balon kata Lao Sam 1892 akan membawa kebebasan imajinasi pembaca pada kisah yang penuh aksi, romansa, erotisme, kesetiaan, perselingkuhan, kekejaman, dan keserakahan.

Hal menarik dari silent comic karya Toni adalah pencantuman tahun pada setiap komik. Ada Karimata 1890, Lao Sam 1892, dalam rencana selanjutnya Surabaya 1902, dan Kertalangu 1881, hal ini menjadi upaya mereka berdua untuk mempersempit (agar lebih fokus). Lukman menjelaskan adanya nama tempat dan tahun tersebut sebagai penanda sebuah roman sejarah yang sedang digarap bersama Toni. Tahun dan nama tempat bisa memberikan gambaran bagaimana situasi suatu tempat yang akan membantu memudahkan saat diangkat ke layar lebar.

Roman sejarah bisa menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya, satu peristiwa dengan peristiwa lainnya beserta nuansa dan penanda jaman semisal bajunya, warnanya, maupun relasi-relasi lainnya.

“Ini seperti membuat gelang. Informasi A, B, C, dan seterusnya yang didapat kemudian dirangkai menjadi satu ditambah dengan bumbu-bumbu (dengan tetap meletakkan sejarah sebagai landasannya) agar menjadi sesuatu yang menarik (dan tetap faktual).” pungkas Lukman

Dengan membuat komik secara fisik dalam standar capaian tertentu, hal tersebut sekaligus menjadi arsip-dokumentasi. Setidaknya dengan menetapkan standar minimal tersebut dibarengi dengan riset dalam berbagai hal sebagai pengembangannya, langkah Lukman dan Toni dalam mengangkat komik nusantara dalam kancah internasional patut diapresiasi. Adanya standar minimal untuk bisa bersaing dengan komik-komik luar negeri memungkinkan untuk dialihmedia-wahanakan sehingga bisa diterapkan dan dikembangkan lebih luas.


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM




    JOGJAFAMILY 100,2 FM

    JOGJAFAMILY 100,2 FM

    JogjaFamily 100,9 FM


    SOLORADIO 92,9 FM

    SOLORADIO 92,9 FM

    Soloradio 92,9 FM SOLO


    BPPTKG

    BPPTKG

    Radio Kotaperak FM


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini