Gudeg.net – Selama pandemi COVID-19, jika Anda melintas pada kawasan Tugu Pal Putih Yogyakarta dari arah barat (Pasar Kranggan), di pojokan perempatan sisi utara Anda akan disapa senyuman gadis kecil pada sebuah box telepon berwarna hitam.
Senyuman tersebut adalah karya mural monochrome hitam-putih gradasi abu-abu dengan objek gadis kecil berukuran 100 cm x 90 cm yang dibuat seniman Digie Sigit sekira tahun 2021-an. Beberapa kali Sigit melakukan perbaikan karena tertimpa tempelan poster ataupun catnya yang mengelupas pada beberapa bagian. Belakangan pada kotak sebelahnya Sigit menambahkan tulisan dalam warna merah ‘TERUSLAH MERDEKA’.
Senyuman dari gadis kecil tersebut menjadi sapaan simpatik bagi mereka yang melewati kawasan tersebut yang bisa menjadi ikonik sebuah karya seni jalanan (street art) sebagai penanda sebuah ruas jalan. Senyuman simpatik yang membawa semangat optimisme bagi siapapun yang melintas.
“Tahun 2024 karya tersebut saya ganti dengan karya lainnya. Untuk penyegaran saja kepada publik, khawatir mereka yang melintas bosan dengan karya tersebut. Akhirnya saya ganti dengan edisi lain masih dari seri yang sama ‘Teruslah Merdeka’.” jelas Sigit dalam obrolan ringan saat pembukaan pameran tunggalnya di Kebun Buku, Jumat (1/11) sore.
Doa Terbaik untuk Kemanusiaan – stensil di atas kanvas (ed. 6/7) – 100 x 90 cm – Digie Sigit – 2021. (foto : Moh. Jauhar al-Hakimi).
Karya yang dimaksud adalah ‘Senyum Syukur Ibu Pariah’ dalam medium stensil di atas box telepon berukuran 111 x 93 cm. Karya yang sama turut dipamerkan bersama tujuh karya stensil lainnya dalam sebuah pameran tunggal berjudul “Teruslah Merdeka”.
“Bu Pariah itu buruh gendong di Pasar Beringharjo bagian sayur-mayur. Dalam sekali gendong beliau bisa mengangkat beban (sayur-mayur) seberat 2-3 kali berat tubuhnya menuruni tangga untuk diantar ke parkiran tempat kendaraan yang memberi kerja gendongan tersebut. Interaksi dengan beliau selalu terjadi di ujung tangga bawah. Meskipun dengan beban berat yang digendongnya, saya selalu mendapat sapaan-senyuman tulus. Ini menjadi gambaran ketulusan seorang ibu, cinta seorang ibu, dan ekspresi itu adalah gambaran hatinya.” jelas Sigit.
Membaca realitas melalui riset kecil-kedilan dan menuangkannya ke dalam karya itulah yang dilakukan Sigit dalam karya-karya stensilnya. Bu Pariah adalah figur buruh gendong yang hidup sehari-hari di Pasar Beringharjo.
Bu Pariah tidak nglaju dari tempat tinggalnya di Kulon Progo untuk menjalani aktivitas jasa menggendong belanjaan pembeli di pasar. Selepas aktivitas menggendong dia tidak pulang untuk menyiasati biaya transportasi Kulon Progo – Pasar Beringharjo PP, dan memilih tidur di sekitar pasar.
Living wall kolektif Graphic Victims pada pameran tunggal “Teruslah Merdeka” di Kebun Buku. (foto : Moh. Jauhar al-Hakimi).
Rutinitas tersebut berlangsung setiap hari. Saat dirasa cukup uang yang terkumpul, sehari dua hari Bu Pariah pulang ke rumahnya untuk memberikan uang terkumpul kepada anggota keluarganya sekaligus me-charge energi dengan berkumpul keluarganya.
“Ketulusan menjalani profesinya seakan menjadi pilihan yang merdeka bagi Bu Pariah. Saya menangkap itu dari senyuman tulusnya kepada semua orang yang dijumpainya.” imbuh Sigit.
Dalam hal menangkap realitas sosial ke dalam karyanya, Sigit menggunakan pendekatan fotografis dalam proses penciptaan karyanya. Bisa dipahami, dalam karya fotografi ada banyak informasi yang bisa ditangkap di luar visual karya dari sebuah momen : ekspresi, peristiwa, cerita, hingga kedalaman makna dalam existing sebenarnya, meskipun karya fotografis pun sebenarnya tidak terlepas dari pengolahan gambar ataupun pemilihan sudut pandang (angle) yang bisa menentukan karya fotografi itu sendiri.
“Untuk menampilkan realitas sosial yang saya jumpai, foto lebih pas. Bisa saja saya menggunakan sketsa ataupun drawing saya sebagai base karya. Namun itu (sketsa-drawing) berpotensi ‘mengggoda’ saya untuk menambah, atau mengurangi, atau membelokkannya, atau bahkan menghilangkannya. Makanya saya pilih pendekatan fotografis termasuk untuk mal/cetakan saring karya grafis saya dalam konsep dan proses kekaryaan.” jelas Sigit.
Dengan pilihan karya grafis tersebut Sigit memiliki opsi membuat repetsi karya –yang menjadi ciri khas karya grafis- sebagai upaya menyebarkan lebih banyak lagi semangat senyuman simpatik dan tulus dari gadis kecil, Bu Pariah, ataupun senyuman lainnya, juga realitas sosial lain yang direkamnya kepada publik.
Dalam catatan pengantar pameran Wimbo Praharso menuliskan kepekaan rasa yang dimiliki Sigit seperti pamor yang sudah mewujud, yang lahir dari meja tempaan, dan juga lebih memberdayakan alat pikir daripada alat ujar. Pemikiran yang selalu mengedepankan nilai dan kedudukan manusia, serta menjadikannya sebagai kriteria dalam segala hal, terutama dalam hal bersosial dengan masyarakat. “Karya adalah doa, kalimat tersebut yang sering ia utarakan, tentu saja doa yang baik untuk kehidupan, dan kebenaran, yang sesungguhnya adalah sebuah jalan, jalan menuju ke segala tujuan.” jelas Wimbo dalam tulisan pengantarnya.
Teruslah Merdeka – stensil di atas kanvas (ed. 1/5) – 100 x 90 cm – Digie Sigit – 2023. (foto : Moh. Jauhar al-Hakimi).
“Secara fisik Bu Pariah bukanlah manusia yang perkasa sesuai kodrati perempuan. Namun, cinta membuatnya perkasa. Cinta pada rumah, cinta pada keluarga menjadi harapan sekaligus sumber energi. Semangat itu. Ketulusan itu. Harapan-harapan itu yang harus saya kabarkan kepada publik luas.” pungkas Sigit.
Pameran tunggal Digie Sigit berjudul “Teruslah Merdeka” berlangsung di Kebun Buku Jl. Minggiran No.61A, Suryodiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta, 1 November – 1 Desember 2024. Bersamaan pameran tunggal tersebut kolektif Graphic Victims mempresentasikan karya muralnya dalam program living wall di sisi timur dinding luar Kebun Buku.
Kirim Komentar