
Mahalnya minyak tanah non-subsidi saat ini yang berkisar antara Rp 5.500,00 hingga Rp 6.000,00 per liter, membuat para konsumen minyak tanah ketar ketir khususnya di Taman Sari. Pasalnya bahan bakar utama yang dipakai untuk memanaskan malam adalah minyak tanah.
Saat ditemui GudegNet di Sanggar Kalpika, Yoga (23) mengeluhkan tentang kebijakan pemerintah yang menurunkan harga premium tapi tidak menurunkan harga minyak tanah. "Kenapa hanya bensin saja yang turun. Padahal usaha seperti punya kita ini kan yang harus lebih diperhatikan pemerintah," keluh Yoga.
Dalam dua hari, Yoga dan teman-temannya di sanggar bisa menghabiskan satu liter minyak tanah untuk keperluan membatiknya. Yoga biasa membeli minyak tanah dengan harga Rp 6.000,00 per liter. "Ya kalau dibilang berat yang nggak juga mbak. Lha wong udah jadi kebutuhan kok. Mau gimana lagi? Yang penting jangan sampi susah didapat," ujarnya dengan sedikit meringis ketus.
Senada dengan Yoga, Ibu Tuti Iriyanti (45) pun mengeluhkan tentang minyak tanah yang makin susah didapat dan semakin mahal. kebutuhan ekonominya yang semakin tinggi mau tak mau harus membuat otaknya berputar. "Kalau begini terus, saya mau pakai arang bubuk aja (arang yang kecil-kecil -red)," ujar Ibu Tuti di sela-sela ia membatik. "Dari pada besok-besok naik lagi, tuh saya udah beli delapan liter langsung. Jangan sampai susah dicari," tutur Ibu Tuti. Subsidi pemerintah yang dinanti-nanti Ibu Tuti pun tak pernah kunjung datang.
Pesona Taman Sari sebagai cagar budaya yang berdampingan erat dengan keberadaan batik lukis ini, haruslah tetap lestari. Suara-suara sumbang di belakang kekayaan budaya Yogyakarta ini selayaknya sudah bisa diredam. Jangan sampai kampung wisata yang membantu menyokong devisa negara ini jadi "berteriak" kewalahan.
Sejak 10 November lalu, Pertamina telah menarik minyak tanah bersubsidi di Kota Yogyakarta. Faktanya, ternyata masih banyak masyarakat yang membutuhkan bahan bakar yang bisa dibeli eceran itu, terutama pengrajin kecil dan menengah.
Kirim Komentar